ppmindonesia.com. Jakarta – Gelombang demonstrasi yang melanda sejumlah daerah akhir Agustus 2025 menyisakan satu tuntutan yang kian menguat: segera sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Publik menilai penundaan yang sudah berlangsung selama 17 tahun tidak lagi memiliki alasan yang bisa diterima.
RUU Perampasan Aset pertama kali disusun pada 2008. Naskah itu berkali-kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), termasuk dalam daftar prioritas 2023. Namun hingga periode DPR 2019–2024 berakhir, pembahasan tak kunjung dilakukan.
Kini, pemerintah kembali mengusulkan RUU tersebut masuk Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029. Sayangnya, DPR belum menempatkannya dalam daftar prioritas.
Penjelasan DPR
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, beralasan materi RUU masih perlu pemutakhiran. Ia menilai perlu kejelasan apakah perampasan aset hanya berlaku bagi tindak pidana korupsi atau juga mencakup tindak pidana umum.
“Kalau pidana umum, ini bisa melebar ke mana-mana dan bersinggungan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” kata Bob, awal Mei lalu.
Ia menambahkan, DPR menunggu sinyal resmi dari Presiden Prabowo Subianto sebelum memulai pembahasan. “Yang paling penting, publik harus tahu apakah perampasan aset ini diarahkan pada kerugian negara atau pidana umum,” ujarnya.
Publik Kehilangan Kesabaran
Alasan tersebut dinilai mengada-ada oleh banyak kalangan. Gelombang protes di jalanan bahkan memunculkan aksi simbolis berupa penjarahan rumah pejabat. Barang mewah diangkut, uang tunai dibagi-bagikan dengan teriakan: “ini duit rakyat”.
Secara hukum, tindakan itu pidana. Namun secara politik, publik mengekspresikannya sebagai bentuk parodi: jika negara gagal merampas aset hasil korupsi, rakyat akan melakukannya sendiri.
Sekretaris Jenderal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional, Anwar Hariyono, menilai DPR hanya berlindung di balik alasan teknis. “Ini soal good will partai politik. Kalau memang ada kemauan, pembahasan sudah bisa dilakukan sejak lama. Penundaan ini jelas tak beralasan,” katanya.
Data Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2023 ada 1.718 terdakwa kasus korupsi dengan kerugian negara Rp56 triliun. Namun uang pengganti yang berhasil dikembalikan hanya Rp7,3 triliun, atau sekitar 13 persen.
Kasus proyek E-KTP menjadi contoh. Dari kerugian Rp2,3 triliun, negara hanya berhasil menagih Rp500 miliar. Tanpa regulasi perampasan aset, vonis penjara tidak cukup memulihkan kerugian negara.
Praktik di Negara Lain
Instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture) sudah diterapkan di berbagai negara. Inggris lewat Proceeds of Crime Act 2002 berhasil merampas ratusan juta poundsterling. Filipina menarik kembali 624 juta dolar AS dari rekening rahasia Ferdinand Marcos di Swiss.
Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) sejak 2006. Namun hingga kini, regulasi perampasan aset belum juga dimiliki.
Komitmen Pemerintah
Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan dengan tokoh masyarakat dan elite partai di Istana Negara, 1 September 2025, menegaskan komitmennya untuk mempercepat pembahasan RUU ini. “Banyak koruptor tidak mau mengembalikan aset yang dicuri dari rakyat. Negara harus hadir,” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui naskah RUU sudah diterima DPR, namun belum menjelaskan lebih lanjut soal proses pembahasan.
Ujian Serius
RUU Perampasan Aset kini dianggap sebagai ujian keseriusan pemerintah dan DPR dalam pemberantasan korupsi. Publik menilai, alasan teknis tak lagi memadai setelah 17 tahun pembahasan mandek.
“Kalau terus ditunda, jangan salahkan rakyat jika mereka kehilangan kesabaran,” kata Anwar.(acank)
 













 
							

 












