Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Ketika Kunjungan DPR Jadi Sandiwara, Bukan Mendengar Suara Rakyat

6
×

Ketika Kunjungan DPR Jadi Sandiwara, Bukan Mendengar Suara Rakyat

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com. Jakarta — Kritik terhadap anggota DPR kembali menguat, kali ini terkait kebijakan kompensasi rumah dinas yang nilainya mencapai Rp50 juta per bulan per orang. Bagi publik, angka itu terlampau tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan kenyataan bahwa lebih dari separuh masyarakat Indonesia masih kesulitan memiliki rumah layak huni.

Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) menilai kompensasi tersebut bukan hanya soal angka, tetapi juga simbol keterputusan wakil rakyat dengan realitas konstituennya. Sekjen PPM Nasional, Anwar Hariyono, menegaskan, “Kalau anggota DPR hidup dengan standar kemewahan, bagaimana mereka bisa menyatu dengan rakyat kecil yang rumahnya sederhana, lingkungannya sederhana, dan kehidupannya penuh keterbatasan?”

Menurut Anwar, jarak sosial itu semakin terasa ketika anggota DPR melakukan kunjungan kerja. Alih-alih hadir di tengah masyarakat dan mendengar langsung suara mereka, pola yang kerap muncul justru berupa seremoni formal di hotel atau ruang pertemuan yang serba tertata. “Bagaimana mungkin memahami penderitaan rakyat bila yang dilihat hanya kondisi yang sudah dipoles rapi? Itu bukan realitas sesungguhnya,” ujarnya.

Aktivis PPM, Depri Cane Nasution, menambahkan kritik senada. Ia menyebut kunjungan kerja DPR kerap hanya menjadi panggung pertunjukan yang dibiayai dari pajak rakyat. “Ironi memang. Kunjungan kerja mereka dibayar dengan pajak rakyat, difasilitasi dengan uang rakyat, tapi rakyat yang ditemui harus dipoles dulu agar kelihatan bagus. Semua seperti sandiwara wakil rakyat terhadap yang mereka wakili,” kata Depri.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya anggota DPR bekerja? Bila pertemuan dengan rakyat hanya berlangsung di ruang yang steril dari persoalan nyata, bagaimana mungkin wakil rakyat dapat memahami kesulitan petani, buruh, pedagang kecil, atau nelayan?

Di tengah situasi ekonomi yang masih menekan banyak keluarga, kompensasi miliaran rupiah untuk sewa rumah DPR sekaligus pola kunjungan kerja yang jauh dari realitas publik dinilai semakin memperlebar jarak antara rakyat dengan wakilnya di Senayan.

Pada akhirnya, kritik PPM mengingatkan kembali bahwa kemewahan bukanlah simbol wakil rakyat. Yang seharusnya dimewahkan adalah integritas, militansi, dan keberanian memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak. Tanpa itu, kunjungan kerja hanya akan menjadi panggung sandiwara—bukan ruang mendengar suara rakyat.(emha)

 

Example 120x600