Scroll untuk baca artikel
BeritaEkonomi

Dana SAL Rp200 Triliun di Perbankan, Rakyat yang Menanggung Risikonya

127
×

Dana SAL Rp200 Triliun di Perbankan, Rakyat yang Menanggung Risikonya

Share this article

Penulis : acank| Editor : asyary

ppmindonesia.com. Jakarta, — Penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) ke bank-bank milik negara atau Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menuai sorotan. Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic, menilai kebijakan itu justru berpotensi menambah beban fiskal yang pada akhirnya ditanggung rakyat.

Dolfie mengungkapkan, dana Rp200 triliun yang ditempatkan di perbankan berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Pemerintah membayar bunga atas SBN tersebut melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “SAL berasal dari mana?

Dari SBN. Kita bayar bunga SBN, sementara bunga yang dikasihkan ke bank rendah. Jadi tanggungan APBN akhirnya. Uang APBN itu uang rakyat, jadi rakyat juga yang menanggung akibat dari kebijakan ini,” kata Dolfie dalam rapat kerja dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/9/2025).

Kredit Nganggur Masih Tinggi

Dolfie juga mempertanyakan efektivitas penempatan dana tersebut di tengah masih tingginya kredit menganggur (undisbursed loan) di perbankan. Data OJK menunjukkan, per Juni 2025 kredit menganggur mencapai Rp2.304 triliun, naik dari Rp2.152 triliun pada periode sama tahun lalu.

“Yang nganggur saja Rp2.000-an triliun belum bisa dimaksimalkan, masuk lagi Rp200 triliun malah bikin beban,” ujarnya.

Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan juga tak kunjung menyentuh level 90 persen. Per Juli 2025 LDR berada di angka 86,54 persen, turun menjadi 86,03 persen pada Agustus, dan berlanjut longsor ke 85,34 persen meski sudah diguyur dana tambahan dari Kementerian Keuangan. “Mau mengejar sampai 90 persen, saya enggak tahu bisa atau tidak dunia usaha kita,” ucapnya.

Risiko Stranded Asset

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengingatkan potensi salah sasaran dalam penyaluran dana tersebut. Ia khawatir, dana justru banyak dialokasikan untuk membiayai proyek energi fosil ketimbang pengembangan energi terbarukan.

“Kalau diarahkan ke sektor yang salah, risikonya muncul stranded asset dan kredit macet. Pak Purbaya (Ketua LPS) harus lebih hati-hati, tidak bisa sekadar diserahkan ke bank Himbara,” katanya.

Penjelasan OJK dan BI

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan, kredit menganggur tidak berarti macet atau mandek. Undisbursed loan, menurutnya, menunjukkan pelaku usaha masih optimistis, namun menunggu waktu tepat untuk mencairkan pinjaman.

“Pengusaha punya sense sendiri kapan mereka akan men-disbursed loan ini. Jadi ini lebih soal timing, bukan tidak ada permintaan,” ujarnya.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menambahkan, lemahnya penyerapan kredit dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih wait and see, suku bunga kredit yang relatif tinggi, serta kecenderungan menggunakan dana internal.

“Dari sisi permintaan, belum kuat. Dari sisi penawaran, likuiditas bank justru longgar,” katanya.

BI mencatat, pada Agustus 2025 rasio undisbursed loan mencapai Rp2.372,11 triliun atau 22,71 persen dari plafon kredit. Sementara rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) berada di level 27,25 persen, menandakan bank memiliki ruang cukup untuk menyalurkan kredit.

Beban di Ujungnya

Dengan situasi ini, kritik DPR bahwa rakyat akan menanggung risiko kebijakan pemerintah tak bisa dianggap sepele. Ketika dana SAL dipakai untuk memperkuat likuiditas perbankan, sementara kredit belum terserap optimal, beban bunga SBN tetap harus dibayar melalui APBN.

Pada akhirnya, publik yang menanggung biaya dari kebijakan yang efektivitasnya masih dipertanyakan. (acank)

Example 120x600