Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Mencari Jalan Tengah Tafsir: Antara Kesetiaan pada Teks dan Konteks

87
×

Mencari Jalan Tengah Tafsir: Antara Kesetiaan pada Teks dan Konteks

Share this article

Penulis: emha| Editor; asyary|

ppmindonesia.com.Jakarta – Perdebatan seputar tafsir Al-Qur’an selalu menjadi ruang tarik-menarik antara kesetiaan pada teks dan kebutuhan menyesuaikan dengan konteks zaman.

Dalam kajian Kanal Quran – Islam, A Mohamed menekankan pentingnya mencari jalan tengah: tidak terjebak pada tekstualisme kaku, tetapi juga tidak terjebak pada relativisme bebas yang mengabaikan pesan Al-Qur’an.

Menurutnya, problem utama umat saat ini adalah sikap ekstrem: sebagian menganggap tafsir klasik tak boleh digugat, sementara yang lain merasa bisa menafsirkan Al-Qur’an tanpa pijakan tradisi.

“Padahal Al-Qur’an itu hidup, ia berbicara melintasi zaman. Kesetiaan pada teks harus berjalan bersama kepekaan membaca konteks,” ujar A Mohamed.

Teks Suci dan Keharusan Berpikir

Al-Qur’an berkali-kali mengajak manusia untuk berpikir, bukan sekadar menerima begitu saja. Allah berfirman:

 أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Sekiranya ia (Al-Qur’an) bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (QS an-Nisa [4]: 82).

Ayat ini, kata A Mohamed, adalah legitimasi untuk selalu membuka ruang tadabbur dan refleksi. Bukan sekadar membacanya, tetapi menggali makna dengan kritis.

Prof. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menegaskan, “Tafsir tidak boleh berhenti pada masa lalu. Tugas kita adalah melanjutkan upaya para mufasir klasik dengan menghubungkannya pada realitas kekinian, tanpa kehilangan ruh Al-Qur’an.”

Ketika Teks Bertemu Konteks

Salah satu contoh yang sering dibahas adalah poligami. Al-Qur’an memang membolehkan poligami, tetapi dengan syarat keadilan yang sangat berat.

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS an-Nisa [4]: 3).

Menurut A Mohamed, konteks ayat ini lahir pada masyarakat pasca-perang dengan banyak janda dan anak yatim. Spiritnya adalah perlindungan sosial, bukan legalisasi nafsu. Membaca teks tanpa konteks bisa berujung pada pembenaran poligami tanpa syarat, sementara Al-Qur’an justru menekankan keadilan.

Demikian pula soal jilbab. Ayat tentang jilbab dalam QS al-Ahzab [33]: 59 muncul dalam konteks menjaga perempuan dari pelecehan sosial.

 يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka.”

Di sini, teks berbicara tentang perlindungan dan identitas sosial. Konteksnya bisa berbeda di era modern, di mana inti ajaran tetap: menjaga kehormatan dan martabat perempuan.

KH Husein Muhammad, ulama pesantren yang aktif dalam isu gender, menegaskan, “Menafsirkan jilbab harus dimaknai sebagai upaya menolak pelecehan dan diskriminasi, bukan sekadar menyoal panjang kain.”

Menghindari Dua Ekstrem

Menurut A Mohamed, umat Islam di era digital menghadapi dua jebakan. Pertama, fanatisme pada otoritas lama yang menutup ruang tafsir baru. Kedua, tafsir instan di media sosial yang kadang hanya memuaskan ego dan kepentingan kelompok.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengingatkan: “Al-Qur’an itu universal. Ia diturunkan untuk membebaskan manusia, bukan membelenggu. Karena itu, tafsir harus selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan kemerdekaan berpikir.”

Menjaga Keseimbangan

Jalan tengah tafsir berarti menghargai teks sebagai firman Allah yang sakral, sekaligus berani membaca konteks agar pesan Al-Qur’an selalu relevan.

Dalam bahasa A Mohamed, “Kesetiaan pada teks adalah fondasi, sementara konteks adalah jembatan. Tanpa keduanya, kita hanya akan tersesat dalam kaku atau hanyut dalam bebas.” (emha)

Example 120x600