ppmindonesia.com.Bekasi, — Senin (29/9/2025), suasana akrab mewarnai pembukaan rumah makan milik Presidium Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional, Nurhasan Ashari, di Bekasi. Namun, pertemuan itu tak sekadar silaturahmi. Di balik hidangan yang tersaji, mengalir diskusi serius tentang masa depan PPM: apakah gerakan yang lahir pada 1980-an masih relevan di tengah tantangan generasi baru?
Hadir dalam acara tersebut sejumlah tokoh PPM lintas generasi, antara lain Presidium PPM Nasional Pupun Purwana, Sekretaris Jenderal PPM Nasional Anwar Hariyono, dan Moh Jumhur Hidayat, yang pernah menjabat Ketua Umum PPM Nasional dua periode. Hadir pula kader senior Parito, tokoh lama PPM Depri Cane Nasution, Yaminuddin, serta Usup Supriyatna, Ketua Koperasi Mina Agar Makmur yang dikenal sebagai perintis budidaya rumput laut dengan sistem polikultur di Karawang, Jawa Barat.
Dari Gerakan Budaya ke Pemberdayaan
Diskusi yang awalnya menyinggung reshuffle kabinet dan pergantian Menteri Koperasi kepada Ferry Juliantono kemudian mengerucut pada refleksi internal organisasi. Jumhur Hidayat mengingatkan kembali bahwa PPM pada awal berdirinya berperan sebagai jembatan antar-subkultur dan menyoroti kemiskinan dari sisi struktural, terutama budaya.
“PPM dulu mendorong perubahan pola pikir. Kami percaya, kemiskinan tidak akan teratasi jika masyarakat tidak berdaya dan mandiri. Dari situlah gerakan PPM tumbuh,” ujar Jumhur.
Anwar Hariyono menimpali, semangat gotong royong masyarakat desa di era 1980–1990-an menjadi fondasi perjuangan. Namun, ia mempertanyakan apakah pola itu masih bisa diterapkan pada generasi saat ini.
“Zaman sudah berubah. Generasi Z tidak tumbuh dalam kultur perjuangan tanpa pamrih seperti dulu. Tantangan kita adalah bagaimana membangkitkan keterlibatan mereka dalam pengentasan kemiskinan,” kata Anwar.
Ekonomi sebagai Jalan Baru
Merespons tantangan tersebut, Jumhur mendorong PPM untuk memperbarui pola perjuangannya. Ia mengusulkan agar PPM diarahkan menjadi perkumpulan saudagar dan pengusaha, mirip Serikat Dagang Islam (SDI) pada awal abad ke-20.
“Kalau dulu PPM mengandalkan gerakan budaya, sekarang waktunya menekankan gerakan ekonomi. Pengentasan kemiskinan harus nyata, dan itu bisa dilakukan dengan pemberdayaan ekonomi partisipatif,” tegasnya.
Usulan ini mendapat dukungan, terutama ketika menyinggung Koperasi Mina Agar Makmur di Karawang yang dipimpin Usup Supriyatna. Koperasi tersebut telah berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat pesisir melalui sistem budidaya rumput laut berbasis koperasi.
Mencari Relevansi di Era Baru
Diskusi di Bekasi itu pun menyisakan renungan mendalam bagi para aktivis PPM. Di satu sisi, organisasi ini memiliki sejarah panjang sebagai gerakan budaya dan sosial yang menekankan perubahan pola pikir. Di sisi lain, tuntutan zaman mengharuskan PPM bertransformasi menjadi motor penggerak ekonomi partisipatif agar tetap relevan di era Gen Z.
Refleksi ini menegaskan bahwa PPM berada di persimpangan jalan: mempertahankan ruh perjuangan masa lalu sekaligus merumuskan strategi baru untuk menjawab tantangan ekonomi, sosial, dan budaya generasi kini.(acank)
 













 
							

 












