Scroll untuk baca artikel
ArtikelBerita

Kita Tak Memilih untuk Lahir, Tapi Bisa Memilih untuk Saling Menghormati

71
×

Kita Tak Memilih untuk Lahir, Tapi Bisa Memilih untuk Saling Menghormati

Share this article

Penulis : emha| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Kita tidak pernah memilih di mana akan dilahirkan, dari keluarga siapa, atau dalam lingkungan seperti apa. Semua itu adalah takdir yang ditetapkan Allah sebelum kita menatap dunia.

Dalam sekejap setelah lahir, kita menerima identitas yang tidak kita minta: agama, suku, bahasa, bahkan kebangsaan.

Saya lahir di Indonesia, dari keluarga Muslim. Maka, saya tumbuh sebagai seorang Muslim. Namun, pernahkah kita berpikir seandainya kita lahir di Swedia, India, atau Israel? Apakah masih akan sama keyakinan yang kita peluk hari ini?

Tidak ada jaminan. Karena manusia tidak punya kuasa memilih dari mana ia berasal, tapi punya kebebasan untuk menentukan bagaimana ia hidup.

Al-Qur’an mengingatkan bahwa keberagaman manusia bukanlah kesalahan, melainkan bagian dari kehendak Allah agar kita saling mengenal, bukan saling menolak.

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Ayat ini mengandung pesan mendalam: perbedaan adalah sunnatullah, dan kemuliaan tidak ditentukan oleh identitas lahiriah, melainkan oleh takwa dan kemanusiaan.

Sejak kecil, banyak di antara kita yang dididik dengan keyakinan bahwa hanya agamanya yang benar, sementara yang lain salah. Saya pernah merasakan itu. Saya diajari bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan, dan mereka yang di luar Islam akan binasa. Namun, teman saya yang Kristen pun berpikir serupa. Ia mengasihani saya karena tidak mempercayai Yesus sebagai Tuhan.

Begitulah cara iman tumbuh di setiap tradisi: diyakini sebagai kebenaran mutlak. Tapi persoalan muncul ketika keyakinan itu berubah menjadi klaim eksklusif yang menutup ruang dialog. Padahal, Allah tidak memerintahkan kita untuk memaksa orang lain beriman.

 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

“Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Ayat ini menegaskan prinsip kebebasan beragama dalam Islam. Iman sejati lahir dari kesadaran, bukan dari tekanan. Karena itu, perbedaan keyakinan bukanlah alasan untuk bermusuhan, tetapi ujian bagi kematangan akal dan keluhuran budi.

Sufi besar Jalaluddin Rumi pernah menulis, “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan. Jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut satu kepingan dan mengira telah memiliki kebenaran yang utuh.”

Ungkapan ini menyentuh sisi kemanusiaan: bahwa kita semua hanyalah pemegang sebagian kecil dari kebenaran yang hakiki. Maka, terlalu angkuh bila manusia menilai siapa yang layak masuk surga atau neraka.

Al-Qur’an pun mengingatkan bahwa Allah-lah yang kelak memutuskan segala perbedaan di antara manusia:

 إِنَّ رَبَّكَ هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan.” (QS. As-Sajdah [32]: 25)

Karena itu, tugas manusia bukanlah menjadi hakim atas iman orang lain, melainkan menjadi saksi kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam. Islam sendiri datang bukan untuk memonopoli keselamatan, tetapi untuk menghadirkan kasih sayang dalam kehidupan.

 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya [21]: 107)

Maka, menjadi Muslim yang sejati bukan berarti merasa paling benar, tetapi berusaha paling bermanfaat. Menghormati keyakinan orang lain bukanlah tanda lemahnya iman, melainkan bukti kedewasaan spiritual.

Bayangkan bila setiap agama menuntut agar kitab sucinya dijadikan dasar negara. Apa jadinya Indonesia yang majemuk ini? Padahal, Allah sendiri menegaskan bahwa perbedaan adalah bagian dari rencana-Nya.

 وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

“Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu; tetapi mereka senantiasa berselisih.” (QS. Hud [11]: 118)

Keseragaman bukan jaminan kedamaian. Banyak negeri dengan agama yang sama tetap berperang karena kehilangan rasa adil dan empati. Di sinilah pentingnya nilai kebangsaan yang kita miliki: Pancasila, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip inilah yang menjaga Indonesia tetap utuh di tengah keberagaman iman, budaya, dan etnis.

Barangkali kelak, kita akan menceritakan pada anak cucu bahwa negeri ini pernah nyaris terpecah bukan karena bom atau peluru, melainkan karena kebencian yang disebar melalui kata-kata. Ketika bangsa lain menembus luar angkasa dan merancang masa depan, kita justru sibuk berdebat tentang siapa yang lebih beriman.

Kita memang tak bisa memilih untuk lahir di mana, dari keluarga siapa, atau dalam agama apa. Tapi kita bisa memilih untuk hidup dengan saling menghormati, menjaga akal sehat, dan menumbuhkan kemanusiaan di atas perbedaan.

Karena sejatinya, kedamaian bukanlah keseragaman keyakinan, melainkan kesediaan untuk hidup berdampingan dengan kasih dan kebijaksanaan.(emha)

Example 120x600