ppmindonesia.com.Jakarta– Menjadi robbani—hamba yang benar-benar bertuhan—adalah cita-cita spiritual setiap orang beriman. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, tak sedikit yang merasa sulit mewujudkannya.
Kesibukan duniawi seringkali membuat hati abai terhadap panggilan Ilahi. Padahal, Allah telah menegaskan bahwa jalan menuju ketuhanan sejati itu sesungguhnya mudah, tidak penuh kesempitan, dan terbuka bagi siapa saja yang sungguh-sungguh mencarinya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS Al-Hajj [22]: 78)
Ayat ini menegaskan bahwa agama Islam hadir bukan untuk membebani, melainkan memudahkan manusia agar hidupnya terarah dan tenang. Maka, menjadi robbani bukanlah cita-cita yang jauh di langit, melainkan jalan yang bisa ditempuh setiap hari—melalui belajar, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an.
Dua Langkah Menjadi Robbani
Al-Qur’an menyebutkan secara tegas bagaimana seseorang bisa mencapai derajat robbani. Dalam surah Ali Imran, Allah berfirman:
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Jadilah kamu orang-orang robbani karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan mempelajarinya.” (QS Ali Imran [3]: 79)
Dua langkah utama disebutkan: mempelajari Kitab Allah dan mengajarkannya.
 Belajar Al-Qur’an bukan sekadar membaca huruf demi huruf, melainkan memahami pesan dan nilai-nilai di dalamnya. 
Mengajarkan Al-Qur’an pun tidak hanya dalam bentuk ceramah atau pengajaran formal, tetapi juga dengan meneladankan akhlak Qur’ani dalam perilaku sehari-hari—dalam bekerja, berkeluarga, dan bermasyarakat.
Husni Nasution dalam kajiannya menekankan bahwa seseorang tidak bisa mengajarkan Kitab Allah tanpa terlebih dahulu mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. “Menjadi robbani berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai guru kehidupan. Dan guru yang sejati adalah mereka yang hidup dengan ilmunya,” ujarnya.
Kemudahan Al-Qur’an untuk Siapa Saja
Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an telah dimudahkan sebagai pelajaran bagi manusia. Firman-Nya:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”
(QS Al-Qamar [54]: 17)
Ayat ini adalah ajakan lembut sekaligus ujian kesadaran. Bukan kemampuan intelektual yang menjadi penentu seseorang memahami Al-Qur’an, melainkan kerendahan hati dan kemauan untuk belajar. Karena itu, siapa pun—apa pun latar belakangnya—berhak menjadi bagian dari hamba-hamba robbani yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an.
Namun, sayangnya, banyak manusia justru lalai. Mereka hidup di tengah cahaya wahyu, tetapi hatinya gelap karena tak pernah membuka diri untuk merenungkan pesan-pesan Allah. Maka, Allah menggugah kesadaran manusia dengan firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (mentadabburi) Al-Qur’an, ataukah hati mereka telah terkunci?”
(QS Muhammad [47]: 24)
Pertanyaan ini adalah seruan yang menggetarkan nurani. Ia menembus dinding kesibukan dan menuntut jawaban dari hati yang tulus. Apakah hati kita masih terbuka untuk mendengar firman Allah, ataukah sudah terkunci oleh kesombongan dan kealpaan?
Kesombongan: Penghalang Menjadi Robbani
Al-Qur’an mengingatkan bahwa kesombongan adalah penghalang utama bagi manusia untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Firman-Nya:
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar.”
(QS Al-A’raf [7]: 146)
Husni Nasution menegaskan, “Orang yang merasa cukup dengan pengetahuan dan hartanya akan kesulitan melihat kebenaran. Sedangkan orang yang rendah hati, walau sedikit ilmunya, akan dimudahkan Allah untuk memahami makna ayat-ayat-Nya.”
 Menjadi robbani berarti menundukkan ego dan menjadikan ilmu sebagai jembatan menuju penghambaan.
Waktu yang Terabaikan
Sebagian manusia tidak berpaling dari Al-Qur’an karena kesombongan, tetapi karena kelalaian dan kesibukan dunia. Mereka menunda-nunda untuk kembali kepada Allah, seolah waktu selalu berpihak padanya. Untuk mereka, Allah berfirman dengan penuh kasih:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ
 “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka?” (QS Al-Hadid [57]: 16)
Pertanyaan ini bukan sekadar teguran, tetapi panggilan cinta dari Allah kepada hati yang menunda untuk kembali. Selama napas masih ada, kesempatan untuk menjadi robbani tetap terbuka.
Hidup Robbani, Hidup dengan Cahaya Al-Qur’an
Menjadi robbani bukan berarti hidup terpisah dari dunia, melainkan menghadirkan nilai-nilai Ilahi dalam setiap langkah kehidupan. Di tempat kerja, di rumah, di jalan, bahkan dalam diam—semuanya bisa menjadi ibadah jika dilandasi kesadaran ketuhanan.
Allah menutup peringatan-Nya dengan kasih, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum setelah Dia memberi petunjuk kepada mereka, hingga menjadi jelas bagi mereka apa yang harus mereka waspadai.” (QS At-Taubah [9]: 115)
Husni Nasution menutup kajiannya dengan pesan sederhana: “Robbani bukan hanya sebutan, tapi kesadaran. Ia lahir dari ilmu yang diamalkan, dari hati yang tunduk, dan dari hidup yang selalu berupaya mendekat kepada Allah.” (syahida)
*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an. Ia dikenal dengan konsep ‘Nasionalisme Religius’ yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial.
 













 
							

 












