“Sebaik-baik bekal adalah takwa.” — QS. Al-Baqarah [2]:197
ppmindonesia.com.Jakarta – Sesungguhnya, fokus telaah ini adalah tentang Yaumul Akhir , hari akhir yang menjadi titik puncak perjalanan hidup manusia. Namun karena pembahasan mengenai Yaumul Akhir erat kaitannya dengan kriteria orang yang bertakwa maka tidak dapat dilepaskan dari perbincangan tentang **taqwa** itu sendiri.
Salah satu keterkaitan mendasar antara taqwa dan kesadaran akhirat tampak dalam firman Allah:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۗ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ*
“Berbekallah kamu, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” *(QS. Al-Baqarah [2]: 197)
Penggunaan kata *tazawwadu* (berbekallah) memberi arah makna bahwa hidup di dunia adalah perjalanan menuju kehidupan sejati, dan taqwa adalah bekal terbaik untuk menapaki perjalanan itu.
Taqwa: Bekal untuk Kehidupan Sejati
Pentingnya berbekal untuk Yaumul Akhir sangat masuk akal, sebab menurut QS. Al-‘Ankabut [29]:64 kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau, sedangkan **kehidupan yang sesungguhnya adalah di akhirat.
وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ*
“Sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.”
Dalam konteks yang sama, QS. Al-Qashash [28]:77 menegaskan keseimbangan antara dua orientasi hidup manusia — dunia dan akhirat:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia.”*
Ayat ini mengajarkan keseimbangan yang sempurna: mengutamakan akhirat tanpa mengabaikan dunia.
Dunia yang Menipu dan Lupa Akhirat
Orang yang tidak beriman kepada hari akhir, kata Al-Qur’an, akan **lari dari tuntunan Allah** (QS. Saba’ [34]:8), **mencintai dunia lebih dari akhirat** (QS. An-Nahl [16]:107), dan hanya memahami zahir kehidupan dunia tanpa menyadari makna hakikinya (QS. Ar-Rum [30]:7).
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka adalah orang yang perbuatannya tampak indah di mata mereka sendir (QS. An-Naml [27]:4–5), namun sesungguhnya merekalah yang paling merugi.
Dalam QS. At-Taubah [9]:38, Allah menegur dengan lembut tapi tegas:
Apakah kamu lebih menyukai kehidupan dunia daripada akhirat?
“Kecintaan berlebihan pada dunia membuat manusia lupa bahwa kehidupan sejati baru dimulai setelah kematian.”
Mereka yang lebih mencintai dunia daripada akhirat, sebut **QS. An-Nahl [16]:106–107** dan **QS. Ibrahim [14]:3**, akan mendapat **murka Allah (غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ)**, karena mereka menukar keabadian dengan kenikmatan sesaat.
Iblis dan Ujian Keimanan
Al-Qur’an menegaskan, iblis tidak memiliki kuasa atas manusia, kecuali sebatas ujian bagi mereka yang masih ragu terhadap akhirat (QS. Saba’ [34]:20–21).
Padahal, Allah menegaskan bahwa akhirat jauh lebih tinggi derajat dan keutamaannya (QS. Al-Isra’ [17]:21).
Kesadaran ini menuntut manusia untuk tidak tertipu oleh ilusi dunia, melainkan terus menguatkan orientasi spiritualnya menuju kehidupan abadi.
Ketika Langit dan Bumi Diganti
Gambaran Yaumul Akhir dalam Al-Qur’an sangat dahsyat. Salah satunya terdapat dalam QS. Ibrahim [14]:48
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاوَات
“Pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain, dan begitu pula langit.”*
Pada saat itu, seluruh sistem kehidupan dunia berhenti. Gunung-gunung dijalankan (QS. An-Naba’ [78]:20), manusia beterbangan seperti laron (QS. Al-Qari‘ah [101]:4), dan setiap umat dipanggil untuk mempertanggungjawabkan amalnya (QS. Hud [11]:103).
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.”*(QS. ‘Abasa [80]:34–36)*
Manusia tenggelam dalam ketakutan, masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Namun bagi penghuni surga, kesibukan mereka justru dipenuhi kebahagiaan (QS. Yasin [36]:55–56).
Yaumul Qiyamah dan Yaumus Sa‘ah
Yaumul Qiyamah adalah hari ketika manusia berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin (QS. Al-Muthaffifin [83]:6), hari ditegakkannya keadilan dan timbangan amal (QS. Al-Anbiya’ [21]:47), dan hari di mana bumi berada dalam genggaman Allah (QS. Az-Zumar [39]:67).
Ketika manusia bertanya: “Kapan hari itu terjadi? (QS. Al-Qiyamah [75]:6), Al-Qur’an menjawab:
فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ، وَخَسَفَ الْقَمَرُ، وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
“Apabila pandangan mata terbelalak, bulan hilang cahayanya, dan matahari serta bulan dikumpulkan.”*
Tak ada tempat lari (ainal mafarru). Itulah hari pembuktian di mana semua yang tersembunyi tersingkap.
وَإِذَا السَّمَاءُ انشَقَّتْ، وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ
Langit terbelah, bumi diratakan, dan manusia terbagi dua: yang menerima catatan amal dari kanan dan dari kiri.(QS. Al-Insyiqaq [84]:1–2)
Refleksi: Menghidupkan Kesadaran Akhirat
Orang yang benar-benar yakin terhadap hari akhir akan terlihat dalam cara hidupnya. Ia akan menata setiap langkah sebagai **bagian dari persiapan menuju Yaumul Akhir**.
Ia memandang dunia bukan sebagai tujuan, tetapi **sebagai ladang untuk menanam amal dan menyiapkan bekal taqwa.**
Sebagaimana pesan QS. Al-Qashash [28]:77
“Carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan jangan lupakan bagianmu di dunia.”
Telaah ini mengingatkan kita bahwa keyakinan terhadap Yaumul Akhir** bukan sekadar doktrin, melainkan **orientasi hidup yang menentukan arah, nilai, dan prioritas manusia.
Hidup yang dipandu oleh kesadaran akhirat akan melahirkan **jiwa bertaqwa**, yang mengutamakan keridaan Allah dalam setiap amalnya, dan memandang dunia dengan seimbang — sebagai sarana, bukan tujuan.
“Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.*(QS. Al-‘Ankabut [29]:64) (husninasution)
*Husni Nasution dikenal sebagai penulis dan pengkaji Qur’an dengan metode Qur’an bil Qur’an yang fokus pada rekonstruksi makna-makna sosial-keagamaan dalam konteks modern dan sistemik. Artikel-artikel seri Tadabbur Qur’ani merupakan bagian dari karya-karya beliau yang ditulis semasa hidup, bertujuan mengajak pembaca menelusuri makna hidup dalam cahaya wahyu (Al-Qur’an) dengan pendekatan yang mendalam dan relevan..
 













 
									

 












