Sapi Perahan di Negeri Sendiri
Oleh; Asyary Hasan
Embun pagi menempel di pelepah kelapa tua. Di ujung kebun, Pak Rafi  berdiri diam. Di depan matanya, puluhan batang kelapa menjulang, menua bersama nasib pemiliknya.
Dulu, setiap kali panen, Rafi akan memanggul kelapa ke perahu, menjualnya ke pasar kecamatan atau ke tengkulak yang datang membawa kabar dari luar desa. Hidup memang sederhana, tapi cukup.
Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.
Suatu sore, rombongan berjas datang dengan mobil putih. Mereka memperkenalkan diri sebagai investor dari negeri seberang.
“Kami ingin memajukan petani. Harga kelapa stabil, lapangan kerja terbuka, hidup lebih sejahtera,”
kata salah satu dengan senyum lebar dan logat asing yang terdengar ramah.
Warga bersorak. Kepala desa menyebut ini *berkah hilirisasi*. Anak-anak muda berharap tak perlu lagi merantau.
Rafi pun ikut menanam lebih banyak, penuh keyakinan akan masa depan yang lebih baik.
Tiga bulan setelah pabrik berdiri, pembeli dari luar desa berhenti datang. Semua kelapa harus dijual ke perusahaan.
“Sistem baru,” kata petugas lapangan.
“Biar pasokan tertib.”
Sejak itu, harga kelapa jatuh. Dari Rp2.500 menjadi Rp1.200 per butir. Rafi protes, tapi hanya dijawab,
“Sudah keputusan pusat.”
Ia menatap langit kosong. Dulu, kelapa adalah kebebasannya. Kini, kebun yang sama justru mengikatnya.
Dari kelapa yang ia jual murah, pabrik memproduksi minyak VCO dan sabun ekspor yang dijual puluhan kali lipat di luar negeri.
Anaknya, Rian, akhirnya diterima kerja di pabrik. Tapi bukan sebagai teknisi, melainkan buruh angkut.
“Tenaga asing lebih ahli,” kata mandor, “tapi kamu bisa bantu di gudang.”
Setiap malam Rian pulang dengan punggung nyeri. Gaji bulanan bahkan tak cukup untuk membeli pupuk bagi kebun ayahnya.
“Dulu kita bisa hidup dari kebun sendiri, Nak,”ujar Rafi suatu malam.
“Sekarang, kita kerja di tanah sendiri, tapi seperti bukan milik kita lagi.”
“Kita kerja di tanah sendiri, tapi seperti bukan milik kita lagi.”
Pak Rafi, Petani Kelapa di Semayong
Di pos kecil kelompok tani, Rafi berbicara lirih kepada kawan-kawannya.
“Dulu kita yang menentukan harga, sekarang mereka. Kita hanya memasok, mereka yang memutuskan.”
Tak ada yang menjawab. Di wajah mereka, hanya tersisa diam dan letih.
Namun, di balik keputusasaan itu, beberapa masih mencoba bertahan. Mereka membentuk koperasi desa, belajar mengolah minyak kelapa sendiri.
Hasilnya belum banyak, tapi cukup untuk menyalakan semangat.
“Mungkin kita tak bisa melawan pabrik besar,” kata Rafi pelan
“Tapi kita masih bisa menanam harapan. Biar kecil, asal milik sendiri.”
Ia kembali ke kebunnya. Di bawah rindang pohon kelapa, ia merasakan angin laut membawa aroma lama: aroma kemerdekaan yang perlahan direbut kembali oleh tangan-tangan rakyat kecil.
 













 
									

 












