ppmindonesia.com.Jakarta– Di tengah derasnya arus informasi dan maraknya media sosial, politik Indonesia semakin tampak kehilangan arah akal sehat. Figur-figur politik menjelma menjadi simbol yang tak terbantahkan, disembah layaknya nabi politik. Rasionalitas publik tergeser oleh perasaan, dan kritik dianggap dosa sosial. Inilah gejala yang disebut oleh Guru Gembul—dalam diskusi santainya—sebagai “era matinya nalar politik”.
Kultus Baru di Era Digital
Kultus individu bukan barang baru dalam sejarah politik. Namun kini ia tumbuh subur dalam bentuk yang lebih canggih: dikemas dalam algoritma media sosial, diperkuat oleh buzzer, dan dipoles dengan narasi kepahlawanan semu. Para pengikut tak lagi menimbang program atau kinerja, tetapi memuja gaya, citra, dan slogan.
“*Kita sudah bergeser dari demokrasi rasional menjadi demokrasi emosional,**” ujar Guru Gembul, dosen filsafat yang sering berbicara dengan gaya jenaka namun tajam. “**Rakyat tidak lagi menimbang siapa yang benar, tapi siapa yang lebih viral.”
Fenomena ini berbahaya bukan karena figur yang diagungkan, tetapi karena hilangnya kemampuan berpikir kritis publik. Akal sehat yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi tergantikan oleh loyalitas buta dan fanatisme yang mudah digerakkan oleh sentimen.
“Rakyat tidak lagi menimbang siapa yang benar, tapi siapa yang lebih viral.”*
Hilangnya Ruang Nalar
Dalam masyarakat yang semakin terbelah, ruang dialog publik menjadi sempit. Kritik dianggap serangan, perbedaan pandangan dituduh sebagai pengkhianatan. Media sosial memperkuat bias konfirmasi, membuat warga hidup dalam “gelembung kebenaran” masing-masing.
Padahal, akal sehat politik lahir dari kemampuan untuk mendengar yang berbeda. Tanpa ruang itu, politik berubah menjadi ajang pembenaran diri. Kita kehilangan kemampuan untuk bertanya, meragukan, dan menimbang.
“Demokrasi tanpa nalar itu seperti kapal tanpa kompas. Ia tetap bisa berlayar, tapi tak tahu akan ke mana.”
Politik sebagai Pertunjukan
Kita menyaksikan politik berubah menjadi panggung hiburan. Figur politik tampil dengan gaya artis, pidato menjadi konten viral, dan debat publik direduksi menjadi adu lucu. Sementara itu, substansi kebijakan—seperti pendidikan, pangan, atau kesejahteraan—tersisih dari percakapan publik.
Kultus individu mematikan imajinasi politik yang sehat. Warga diposisikan sebagai penonton, bukan partisipan. Padahal, demokrasi hanya hidup bila rakyatnya berpikir, berdiskusi, dan berani menolak manipulasi.
Ajakan Reflektif
Sudah waktunya bangsa ini keluar dari bayang-bayang kultus individu dan kembali ke jalan akal sehat politik. Pemimpin sejati bukanlah yang dielu-elukan, tetapi yang mau diawasi dan dikritik. Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang paling disukai, melainkan siapa yang paling mau dipertanggungjawabkan.
Seperti pesan Guru Gembul dalam percakapan dipodcas nya
“Kalau rakyat berhenti berpikir, maka yang lahir bukan pemimpin, tapi penguasa. Dan penguasa tanpa kontrol adalah awal dari kemunduran peradaban.**”
 













 
									

 












