“Tidak ada guru yang lebih sempurna dari Al-Qur’an itu sendiri.”Husni Nasution
ppmindonesia.com. Jakarta – Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.Indonesia baru saja kehilangan salah satu sosok pembaharu pemikiran Qur’ani: Husni Nasution bin Kari Saleh, yang wafat pada Rabu, 22 Oktober 2025, pukul 06.36 WIB.
Bagi banyak murid, aktivis, dan kader Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), almarhum bukan sekadar guru—melainkan penyala api kesadaran tentang bagaimana seharusnya manusia mempelajari dan memahami Al-Qur’an. Prinsip dasarnya sederhana namun mendasar: belajar Al-Qur’an harus dengan Al-Qur’an itu sendiri.
Menolak Tafsir Terpisah dari Wahyu
Husni Nasution menentang keras pendekatan yang menempatkan tafsir, hadis, atau fatwa di atas firman Allah. Ia sering mengutip firman Allah dalam Surah Al-Furqan ayat 33:
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Dan mereka tidak datang kepadamu dengan suatu perumpamaan pun, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.” (QS Al-Furqan [25]: 33)
Ayat ini, menurut beliau, menjadi dasar bahwa penjelasan terbaik terhadap ayat-ayat Allah adalah ayat-ayat Allah lainnya. Dengan kata lain, tafsir terbaik bukanlah yang dibuat manusia, melainkan yang sudah dijelaskan oleh Al-Qur’an itu sendiri dalam konteks menyeluruhnya.
Metode Tadabbur yang Membebaskan
Berangkat dari pandangan itu, Husni Nasution mengembangkan pendekatan “Tadabbur Tematik Intertekstual”, yaitu membaca Al-Qur’an dengan mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya dalam tema yang sama.
Metode ini menuntun pembelajar untuk menemukan benang merah wahyu, bukan sekadar menghafal tafsir klasik. Dalam pandangan beliau, banyak umat terjebak dalam “agama tafsir” yang membatasi daya pikir kritis, padahal Allah telah berulang kali memerintahkan manusia untuk berpikir.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ
“Maka tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur’an?” (QS Muhammad [47]: 24)
Al-Qur’an Sebagai Sumber Revolusi Pemikiran
Husni Nasution percaya bahwa kebangkitan umat tidak akan terjadi selama Al-Qur’an hanya dibaca tanpa direnungkan.
“Umat ini kehilangan roh Qur’ani karena lebih banyak membaca penafsiran manusia daripada membaca kehendak Allah,” ujarnya
Ia menekankan, Al-Qur’an adalah kitab pembebasan, bukan sekadar kitab ritual. Di dalamnya terdapat prinsip tauhid, keadilan, kesetaraan, dan amanah yang menjadi fondasi bagi tatanan sosial dan pemerintahan yang adil.
Jejak dan Warisan
Sebagai aktivis Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), Husni Nasution menanamkan nilai bahwa dakwah tidak boleh berhenti di mimbar, tapi harus hidup di tengah masyarakat.
Gagasan PPM tentang Qaryah Thayyibah — desa ideal berbasis iman, ilmu, dan amal — sebagai implementasi dari pemahaman Qur’ani yang membumi.
Kini, sepeninggal beliau, teman temannya bertekad melanjutkan semangat belajar Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagai warisan yang tak lekang oleh waktu.
Kanal Syahida: Warisan yang Ditinggalkan
Sekitar dua tahun terakhir sebelum wafat, menginisasi untuk menuangkan hasil-hasil kajian kajiannya dalam bentuk tulisan. Lahir lah **kanal “Syahida”**, yang memuat artikel-artikel bertema tafsir *Qur’an bil Qur’an*, diterbitkan melalui situs **ppmindonesia.com**, rubrik *Hikmah*.
Kami berharap kanal ini bisa menjadi ruang refleksi dan pencerahan bagi umat—agar Al-Qur’an kembali menjadi pedoman hidup, bukan sekadar bacaan. Diskusi kami berlangsung lewat pertemuan, telepon, hingga obrolan panjang di WhatsApp.
Refleksi dari Kehilangan
Wafatnya Husni Nasution bukan sekadar kehilangan seorang tokoh, tetapi juga momentum untuk kembali menimbang: sejauh mana umat Islam benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam berpikir dan bertindak?
Dalam setiap ajarannya, beliau menutup dengan doa yang kini terasa lebih bermakna dari sebelumnya:
“Ya Allah, jadikan kami umat yang membaca Al-Qur’an bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati dan akal yang Kau hidupkan dengan cahaya-Mu.” (asyary hasan)
 













 
									

 












