Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Qaryah Thayyibah: Desa Ideal dalam Perspektif Al-Qur’an dan Pemberdayaan

25
×

Qaryah Thayyibah: Desa Ideal dalam Perspektif Al-Qur’an dan Pemberdayaan

Share this article

Penulis: syahida | Editor; asyary

“Qaryah Thayyibah” bukan sekadar desa yang makmur secara materi, tetapi juga masyarakat yang hidup dalam nilai tauhid, keadilan, dan keberlanjutan.

ppmindonesia.com Jakarta – Istilah Qaryah Thayyibah dalam Al-Qur’an sering dimaknai sebagai “desa yang baik”. Namun, di balik ungkapan yang sederhana itu tersembunyi konsep peradaban yang sangat dalam: keseimbangan antara spiritualitas, ekologi, dan keadilan sosial.

Al-Qur’an tidak hanya menampilkan Qaryah Thayyibah sebagai simbol kenikmatan duniawi, melainkan juga sebagai model kehidupan yang tunduk pada hukum Allah—baik dalam pengelolaan sumber daya, hubungan sosial, maupun tata moral masyarakatnya.

Qaryah Thayyibah dalam Al-Qur’an

Konsep Qaryah Thayyibah muncul dalam kisah umat terdahulu yang menikmati keberkahan karena menaati petunjuk Allah.

 وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةًۭ كَانَتْ ءَامِنَةًۭ مُّطْمَئِنَّةًۭ يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًۭا مِّن كُلِّ مَكَانٍۢ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَاقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلْجُوعِ وَٱلْخَوْفِ بِمَا كَانُوا۟ يَصْنَعُونَ

“Dan Allah membuat perumpamaan sebuah negeri (qaryah) yang aman lagi tenteram; rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segala tempat, tetapi penduduknya ingkar kepada nikmat Allah. Maka Allah merasakan kepada mereka pakaian lapar dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat.”(QS. An-Naḥl [16]: 112)

Ayat ini menegaskan dua hal mendasar: kesejahteraan sosial yang hakiki hanya dapat dipertahankan jika masyarakat menjaga syukur kolektif dan keadilan sosial. Ketika keserakahan dan kufur nikmat menguasai sistem sosial, maka keberkahan berubah menjadi bencana.

Dari Spirit Qur’ani ke Paradigma Pemberdayaan

Dalam konteks kekinian, Qaryah Thayyibah dapat dibaca sebagai paradigma pembangunan berbasis nilai Qur’an.

Ia bukan sekadar desa yang memiliki infrastruktur, melainkan masyarakat yang mandiri, berilmu, dan berakhlak.

 إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”(QS. Ar-Ra‘d [13]: 11)

Ayat ini menjadi fondasi spiritual pemberdayaan: perubahan sosial harus dimulai dari kesadaran internal. Desa yang thayyibah bukan dibentuk dari luar, tetapi tumbuh dari dalam—melalui pendidikan, kolaborasi, dan keimanan yang hidup dalam keseharian.

Tiga Pilar Qaryah Thayyibah

Konsep Qaryah Thayyibah menurut tafsir Qur’an bil Qur’an dapat dipahami dalam tiga dimensi utama:

  1. Tauhid (Spiritualitas):

Masyarakat desa yang beriman menjadikan Allah sebagai pusat orientasi kehidupan.

وَإِلَى ٱللَّهِ تُرْجَعُ ٱلْأُمُورُ

“Dan kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan.”(QS. Āli ‘Imrān [3]: 109)

  1. ‘Adalah (Keadilan Sosial):

Kesejahteraan bukan milik segelintir orang, melainkan hak seluruh warga desa.

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, serta memberi kepada kaum kerabat.”(QS. An-Naḥl [16]: 90)

  1. Imarah (Pembangunan dan Keberlanjutan):

Pembangunan desa harus berorientasi pada kemaslahatan bersama, bukan eksploitasi.

 هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا

“Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hūd [11]: 61)

 “Qaryah Thayyibah adalah masyarakat yang menemukan kesejahteraan bukan dari akumulasi harta, tetapi dari keseimbangan antara iman, ilmu, dan keadilan.”— Syahida, Kajian Qur’an bil Qur’an

 Menggali Spirit Kemandirian dan Ekologi

Nilai thayyibah (kebaikan dan keberkahan) dalam Al-Qur’an selalu terkait dengan keseimbangan antara manusia dan alam.

Desa yang baik adalah desa yang menjaga sumber air, hutan, dan tanah sebagai amanah, bukan komoditas.

 وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءًۭ فَأَخْرَجْنَا بِهِۦ نَبَاتَ كُلِّ شَىْءٍۢ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًۭا نُّخْرِجُ مِنْهُ حَبًّۭا مُّتَرَاكِبًۭا

“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, dan dari tumbuh-tumbuhan itu Kami keluarkan tanaman yang menghijau.”(QS. Al-An‘ām [6]: 99)

Dalam konteks pembangunan desa modern, ayat ini bisa dibaca sebagai ajakan untuk menghidupkan kembali pertanian organik, ekonomi hijau, dan pola hidup berkelanjutan—bentuk nyata dari ibadah sosial-ekologis.

Desa Sebagai Ruang Ibadah Kolektif

Dalam Al-Qur’an, ibadah tidak hanya dilakukan di masjid, tetapi juga diwujudkan dalam tata sosial. Ketika desa mampu menjadi ruang keadilan, kerja sama, dan kasih sayang, maka seluruh aktivitas sosial menjadi bentuk dzikrullah.

 ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”(QS. Ar-Ra‘d [13]: 28)

Dengan demikian, Qaryah Thayyibah bukan utopia. Ia adalah visi Qur’ani tentang masyarakat yang hidup dalam harmoni spiritual, sosial, dan ekologis—di mana setiap kerja, panen, dan musyawarah adalah bentuk ibadah kepada Sang Pencipta.

Qaryah Thayyibah

Qaryah Thayyibah mengajarkan bahwa pembangunan sejati berawal dari kesadaran tauhid. Desa akan menjadi baik bukan karena proyek, tetapi karena niat kolektif yang tulus untuk memperbaiki diri, menegakkan keadilan, dan memakmurkan bumi.

Itulah makna sejati dari pemberdayaan berbasis wahyu: membangun manusia sebelum membangun gedung, menumbuhkan iman sebelum menanam pohon. (syahida)

✍️ Syahida – Saluran menampilkan telaah al quran dengan  menggunakan metode “tafsir qur’an bil ayatil qur’an artinya menguraikan al qur’an dengan merujuk apada ayat ayat alquran..

 

Example 120x600