Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Islam (Bukan Agama)

22
×

Islam (Bukan Agama)

Share this article

Penulis: syahida | Editor; asyary

Islam dalam Al-Qur’an bukan sekadar nama agama, tetapi jalan menuju kedamaian universal. (ilustrasi)

“Sesungguhnya jalan hidup (dien) di sisi Allah adalah kedamaian (Islam).” QS. Āli ‘Imrān [3]:19

ppmindonesia.com.Jakarta – Jika kita ingin memahami apa itu Islam, maka satu-satunya sumber otoritatif adalah Al-Qur’an — bukan tradisi, bukan tafsir ulama, bukan pula ucapan orang-orang yang disebut “orang suci”. Sebab istilah Islam pertama kali disebut oleh Tuhan sendiri dalam Al-Qur’an, dan maknanya hanya dapat dipahami dalam konteks wahyu itu.

Sayangnya, selama berabad-abad, pemaknaan Islam telah direduksi menjadi nama agama, atau bahkan identitas sosial-politik. Akibatnya, Islam kehilangan makna aslinya: jalan menuju kedamaian batin dan sosial.

Inkonsistensi Tafsir: Antara “Berserah Diri” dan “Damai”

Dalam literatur klasik, Islam sering diterjemahkan secara berganti-ganti: kadang berarti agama Islam, kadang berserah diri, kadang damai. Bahkan, dalam satu ayat yang sama, kata yang identik diterjemahkan secara berbeda.

Padahal, secara etimologis, kata Islam berasal dari akar kata S-L-M (Syin-Lam-Mim), yang juga melahirkan kata Salām (damai, tenteram, harmonis). Akar ini konsisten bermakna positif dalam bahasa Arab dan Al-Qur’an.

Terjemahan “berserah diri” tidak sepenuhnya tepat, karena kata untuk berserah diri dalam Al-Qur’an berakar dari SJD (sajada) — yang berarti tunduk, patuh, sujud. Maka, “Islam” lebih tepat dipahami sebagai keadaan damai karena keterhubungan dengan Tuhan, bukan sekadar tindakan berserah diri secara formal.

“Tuhan bisa memaksa manusia tunduk, tapi tidak bisa memaksa manusia untuk damai.”

Kedamaian tidak dapat dipaksakan. Seorang bisa dipaksa taat, tetapi tidak bisa dipaksa damai. Bahkan Tuhan tidak memaksakan kedamaian kepada manusia — karena kedamaian hanya lahir dari kebebasan hati. Inilah makna firman Allah:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam jalan hidup (dien).” — (QS. Al-Baqarah [2]:256)

Konsistensi Qur’ani: Islam Adalah Kedamaian

Kata SLM dan turunannya muncul lebih dari 145 kali dalam Al-Qur’an. Bila diterjemahkan konsisten sebagai “damai”, pesan Al-Qur’an menjadi luar biasa indah dan universal.

Misalnya, QS. Al-Baqarah [2]:112:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Tidak! Barang siapa mendamaikan dirinya dengan Tuhan dan berbuat baik karena-Nya, maka baginya balasan di sisi Tuhannya; tidak ada rasa takut dan tidak ada kesedihan atas mereka.”

Ayat ini muncul di tengah pertengkaran antara Yahudi dan Nasrani. Maka, makna “aslama” di sini tidak sekadar “berserah diri”, melainkan berdamai dengan Tuhan, yang berarti berdamai pula dengan sesama manusia.

Ibrahim: Mendoakan Negeri Damai, Bukan Negara Islam

Perhatikan QS. Al-Baqarah [2]:126:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang damai (sentosa).”

Ibrahim tidak meminta negara Islam, melainkan negeri yang damai. Damai adalah dasar segala kemajuan — tanpa kedamaian, tiada keadilan dan kesejahteraan.

Doanya dilanjutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]:128:

“Tuhanku, jadikanlah kami orang-orang yang damai pada-Mu, dan dari keturunan kami bangsa yang damai; tunjukkan kepada kami pengorbanan-pengorbanan kami (manasik), dan ampunilah kami. Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kata manāsik (مناسك) dalam ayat ini sering diterjemahkan sebagai “tata cara haji”. Padahal, akar katanya NSK justru berarti “pengorbanan”. Dengan demikian, maknanya menjadi jelas: bangsa yang damai hanya bisa lahir dari bangsa yang mau berkorban.

“Negeri yang damai tidak lahir dari ritual, tetapi dari pengorbanan dan keikhlasan rakyatnya.”

Muslim: Orang yang Damai, Bukan Sekadar Penganut Agama

Kata muslimin (مُسْلِمِين) berasal dari akar yang sama, dengan makna “orang-orang yang hidup dalam kedamaian bersama Tuhan. Inilah makna sejati dari doa para nabi.

Al-Baqarah [2]:131–133 menggambarkan dialog spiritual yang sangat jernih:

قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Tuhannya berkata: ‘Damailah!’ Ia (Ibrahim) menjawab: ‘Aku telah dalam kedamaian bersama Tuhan semesta alam.’”

“Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih jalan hidup (dien) bagi kalian; maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan damai (muslimun).”

Artinya, dien bukan sistem keagamaan, tetapi jalan hidup yang membawa kedamaian.

Islam: Jalan Damai yang Universal

Dengan demikian, Islam bukan nama agama, melainkan nama bagi kondisi batin dan sistem hidup yang damai karena sejalan dengan kehendak Tuhan.

Tuhan tidak menuntut manusia untuk sekadar tunduk, tetapi agar hidup dalam kedamaian bersama-Nya. Karena dari kedamaian itulah lahir amal saleh, keadilan sosial, dan harmoni antar manusia.

Maka, siapa pun — dari bangsa, ras, atau zaman apa pun — yang hidup dalam damai dengan Tuhan, sejatinya adalah muslim dalam arti Qur’ani.

“Agama-agama bisa berbeda bentuk, tetapi semua yang berusaha berdamai dengan Tuhan sejatinya sedang menempuh jalan Islam.”

Islam

Kembali kepada Al-Qur’an, kita menemukan Islam bukan sebagai institusi, melainkan kesadaran hidup damai di bawah kehendak Ilahi.

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّٰهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya jalan hidup (dien) di sisi Allah adalah kedamaian (Islam).” — (QS. Āli ‘Imrān [3]:19)

Islam, dalam makna hakikinya, bukan label, bukan bendera, bukan sistem politik — tetapi jalan menuju kedamaian universal. (syahida)

*Syahida – Saluran menampilkan telaah al quran dengan  menggunakan metode “tafsir qur’an bil ayatil qur’an artinya menguraikan al qur’an dengan merujuk apada ayat ayat alquran..

Catatan:
Tulisan ini merupakan refleksi pribadi berbasis tafsir Qur’an bil Qur’an, mengajak pembaca memahami kembali makna “Islam” sebagai jalan damai, bukan sekadar nama agama formal.

 

Example 120x600