ppmindonesia.com.Jakarta – Setiap kali Al-Qur’an berbicara tentang penciptaan manusia, ia tak sekadar bercerita tentang asal biologis, tetapi struktur spiritual dan moral manusia itu sendiri.
Manusia bukan hanya tubuh yang dibentuk dari tanah, tetapi juga makhluk yang dihidupkan oleh Ruh Ilahi dan dituntun oleh Kalimat Tuhan.
Dalam tiga unsur ini  tanah, ruh, dan kalimat  terletak rahasia mengapa manusia disebut “khalifah” di bumi.
Tanah: Asal Material dan Simbol Kerendahan
Penciptaan manusia dimulai dari unsur paling rendah dalam hierarki alam: tanah.
Al-Qur’an berulang kali menyebut asal-usul ini untuk mengingatkan manusia akan **hakikat kerendahan dan keterhubungan dengan bumi.**
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (berasal) dari tanah.”(QS. Al-Mu’minun [23]: 12)خَلَقَهُۥ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Dia menciptakannya dari tanah, kemudian berkata kepadanya: ‘Jadilah’, maka jadilah ia.” (QS. Ali Imran [3]: 59)
Tanah adalah simbol kerendahan eksistensial, tetapi sekaligus potensi kesuburan dan kehidupan. Dari tanah tumbuh tumbuhan, darinya manusia makan, dan kepadanya manusia kembali.
Maka, sifat tanah  sabar, menerima, menumbuhkan adalah cerminan akhlak dasar manusia yang ideal.
Ruh: Nafas Ilahi yang Menyadarkan
Jika tanah adalah asal material, maka Ruh adalah asal kesadaran.
Peniupan ruh menandai momen sakral di mana manusia menjadi makhluk yang sadar dan bertanggung jawab.
فَإِذَا سَوَّيْتُهُۥ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى فَقَعُوا۟ لَهُۥ سَـٰجِدِينَ**
“Maka apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Shad [38]: 72)
Ayat ini menunjukkan bahwa Ruh bukan milik manusia, tapi tiupan dari Tuhan.
Ia bukan bagian fisik, melainkan dimensi kesadaran  yang membuat manusia mampu berpikir, mencinta, dan mengenal Tuhannya.
Maka, manusia sejatinya hidup di dua dunia:
ia berpijak pada tanah, tapi bergerak karena ruh.
Kalimat: Dimensi Pengetahuan dan Petunjuk
Setelah tanah dan ruh, Al-Qur’an menambahkan unsur ketiga yang jarang dibicarakan: *Kalimat*.
Manusia menjadi makhluk yang sempurna bukan hanya karena diberi hidup, tapi karena diberi **bahasa dan wahyu** — kemampuan mengenal dan menamai realitas.
وَعَلَّمَ آدَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 31)
Ayat ini menggambarkan anugerah intelektual dan spiritual  bahwa manusia diberi kemampuan memahami makna.
“Kalimat” dalam konteks Qur’an juga mengandung arti firman Tuhan yang hidup  wahyu, nilai, dan hukum moral yang menjadi cahaya dalam sejarah manusia.
إِنَّمَا ٱلْمَسِيحُ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ ٱللَّهِ وَكَلِمَتُهُۥٓ أَلْقَىٰهَآ إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ
“Sesungguhnya Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya.”(QS. An-Nisa [4]: 171)
Ayat ini menunjukkan kesinambungan unsur Kalimat dan Ruh keduanya adalah perantara antara kehendak Ilahi dan kehidupan manusia.
Kesatuan Tiga Unsur: Manusia sebagai Mikrokosmos
Ketiga unsur itu tanah, ruh, dan kalimat membentuk manusia sebagai mikrokosmos dari seluruh ciptaan.
Dari tanah, ia menumbuhkan kehidupan.
Dari ruh, ia menemukan kesadaran.
Dari kalimat, ia menegakkan kebenaran.
Al-Qur’an seolah ingin berkata: manusia adalah pertemuan antara bumi dan langit, antara yang fana dan abadi.
Tugasnya bukan sekadar hidup di dunia, tapi menyatukan kembali harmoni antara alam, jiwa, dan wahyu.
Tanggung Jawab Spiritual: Menyambung Ruh dan Kalimat
Dalam dunia modern, manusia sering melupakan dua dari tiga unsur itu: ruh dan kalimat.
Kita menjaga tubuh dari tanah, tapi melupakan ruh yang menghidupi, serta kalimat yang membimbing.
Al-Qur’an mengingatkan bahwa kehilangan keseimbangan ini adalah akar dari krisis moral dan spiritual manusia.
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri.”(QS. Al-Hasyr [59]: 19)
Melupakan Allah berarti melupakan ruh dan kalimat yang membentuk hakikat diri.
Maka,  pemberdayaan manusia sejati  dalam makna Qur’ani  adalah membangkitkan kembali hubungan antara ketiganya.
Dari Tanah ke Cahaya
Penciptaan manusia menurut Qur’an bukan kisah masa lalu, tapi **struktur eksistensi yang terus hidup di dalam diri setiap manusia.**
Kita terus-menerus diciptakan kembali setiap kali kita mengenal diri, menyucikan hati, dan menegakkan kalimat kebenaran.
ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَـٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۖ قَلِيلًۭا مَّا تَشْكُرُونَ
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya, dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajdah [32]: 9) (syahida)
 













 
									

 












