Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ekonomi Tauhid: Menemukan Kembali Makna Derma dan Shadaqaat dalam Cermin Al-Qur’an

39
×

Ekonomi Tauhid: Menemukan Kembali Makna Derma dan Shadaqaat dalam Cermin Al-Qur’an

Share this article

Penulis: syahida| Editor: asyary|

Seorang petani menyerahkan hasil panen kepada mustahik dengan latar sawah hijau. (ilustrasi)

ppmindonesia.com Jakarta  — Dalam pusaran ekonomi modern yang kian materialistis, konsep derma dan shadaqaat sering direduksi menjadi sekadar amal sosial atau kedermawanan pribadi. Padahal, Al-Qur’an menghadirkan konsep yang jauh lebih mendalam: sistem ekonomi yang berakar pada tauhid, di mana kesejahteraan dan keadilan bukan hasil dari persaingan bebas, tetapi dari keseimbangan spiritual dan sosial yang diatur oleh Allah.

Dalam bingkai Qur’an bil Qur’an, konsep ini tidak bisa dipisahkan dari tiga istilah kunci: derma (infaq), shadaqaat, dan zakat. Ketiganya bukan sekadar sinonim, melainkan tiga lapisan dalam satu sistem ekonomi Qur’ani—yang berawal dari kesadaran tauhid, berlanjut ke kepedulian sosial, dan bermuara pada keadilan struktural.

Derma: Gerak Spiritual dari Hati yang Berserah

Al-Qur’an menggambarkan derma (infaq) sebagai manifestasi iman, bukan paksaan sosial.

يَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلِ ٱلْعَفْوَ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), apa yang mereka nafkahkan? Katakanlah: yang lebih dari keperluan.” (QS Al-Baqarah [2]: 219)

Ayat ini menegaskan bahwa infaq bukan soal jumlah, melainkan soal niat dan kesadaran spiritual — memberi dari yang berlebih, tanpa pamrih. Derma adalah ujian hati: sejauh mana manusia rela melepas keterikatan terhadap harta dan menundukkannya pada nilai tauhid.

Shadaqaat: Menegakkan Keadilan Sosial

Tahap kedua dari sistem ekonomi Qur’ani adalah shadaqaat — yang secara etimologis berasal dari akar kata ṣidq (kebenaran). Memberi shadaqah bukan hanya tindakan baik, tetapi pembuktian keimanan yang sejati.

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ سِرًّۭا وَعَلَانِيَةًۭ فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari, secara sembunyi maupun terang-terangan, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah [2]: 274)

Dalam logika Qur’ani, shadaqaat adalah jembatan antara kekayaan pribadi dan kesejahteraan sosial. Ia mengubah kepemilikan menjadi keberkahan, dan kekayaan menjadi tanggung jawab moral. Dengan demikian, shadaqaat menegaskan bahwa keimanan tidak cukup diucapkan, tetapi harus diwujudkan dalam sistem distribusi yang adil.

Zakat: Sistem Ekonomi Tauhid

Di puncak sistem ini berdiri zakat, bukan sebagai ritual administratif, melainkan sebagai mekanisme penyucian dan keadilan struktural.

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةًۭ تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
“Ambillah dari harta mereka shadaqah untuk membersihkan dan memurnikan mereka dengan shadaqah itu.” (QS At-Taubah [9]: 103)

Zakat membersihkan dua hal sekaligus: jiwa manusia dari keserakahan, dan sistem ekonomi dari ketimpangan. Ia memastikan bahwa harta tidak berputar hanya di tangan segelintir elite, sebagaimana firman Allah:

كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ
“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al-Hasyr [59]: 7)

Dengan demikian, zakat bukan sekadar pengeluaran tahunan, tetapi fondasi ekonomi tauhid — sistem yang memadukan iman, keadilan, dan keseimbangan sosial.

Ekonomi Qur’ani: Dari Spiritualitas Menuju Pemberdayaan

Dalam kacamata Qur’an bil Qur’an, ekonomi Qur’ani adalah gerakan spiritual yang terorganisasi secara sosial. Ia tidak berhenti pada amal, tetapi melahirkan peradaban produktif yang memberdayakan fakir miskin, menumbuhkan kerja sama, dan menegakkan keadilan.

Semuanya berpangkal pada satu prinsip tauhid: bahwa harta bukan milik mutlak manusia, melainkan amanah Allah yang harus dikelola dengan adil. Maka, siapa yang berderma, bershadaqah, dan berzakat — sejatinya sedang menghidupkan ruh kemanusiaannya.

Ekonomi Tauhid

Konsep ekonomi tauhid dalam Al-Qur’an mengajarkan bahwa kesejahteraan tidak lahir dari akumulasi, tetapi dari distribusi dan keberkahan.
Derma menumbuhkan hati, shadaqaat menegakkan keadilan, dan zakat menyucikan masyarakat dari kerakusan sistemik.

Inilah tatanan ekonomi Qur’ani — bukan sistem kapitalis, bukan pula sosialistis, tetapi sistem tauhid yang menegakkan keseimbangan antara spiritualitas dan struktur sosial.

“Ambillah dari harta mereka shadaqah untuk membersihkan dan memurnikan mereka.” (QS At-Taubah [9]: 103) (syahida)

*Syahida adalah kajian Qur’an bil Qur’an, fokus pada tafsir tematik Al-Qur’an yang mengaitkan wahyu dengan sistem kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual umat Islam modern.
Example 120x600