Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ketika Iman Menjadi Pilihan: QS Al-Kahfi 29 dan Kebebasan Beragama

6
×

Ketika Iman Menjadi Pilihan: QS Al-Kahfi 29 dan Kebebasan Beragama

Share this article

Kajian Syahida – Qur’an bil Qur’an| Oleh; syahida

ppmindonesia.com.Jakarta – Isu kebebasan beragama sering kali dipahami sebagai konsep modern yang lahir dari pemikiran Barat. Namun, jika menelusuri Al-Qur’an secara tematik dan menyeluruh, prinsip kebebasan memilih iman justru merupakan fondasi etika Qur’ani sejak awal wahyu.

Salah satu ayat paling eksplisit tentang hal ini adalah QS Al-Kahfi ayat 29, yang menempatkan iman bukan sebagai paksaan, melainkan sebagai pilihan sadar manusia.

Artikel ini mengajak pembaca membaca ayat tersebut melalui pendekatan Qur’an bil Qur’an, untuk memahami bagaimana Al-Qur’an membangun relasi antara iman, kebebasan, dan tanggung jawab moral.

QS Al-Kahfi 29: Pernyataan Terbuka tentang Pilihan Iman

Allah berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“Dan katakanlah: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang menghendaki hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang menghendaki hendaklah ia kafir.” (QS Al-Kahfi 18:29)

Ayat ini sering disalahpahami sebagai ancaman. Padahal, struktur bahasanya menunjukkan pengakuan terhadap kehendak bebas manusia. Al-Qur’an secara sadar mengakui adanya pilihan: iman atau ingkar.

Namun kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi. Ayat tersebut dilanjutkan dengan penjelasan tentang tanggung jawab etis dan dampak dari setiap pilihan, bukan dengan legitimasi pemaksaan.

Iman Tidak Sah dengan Paksaan

Prinsip QS Al-Kahfi 29 sejalan dengan ayat fundamental lain:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS Al-Baqarah 2:256)

Iman yang dipaksakan kehilangan makna spiritualnya. Dalam perspektif Al-Qur’an, iman adalah respons batin terhadap kebenaran, bukan sekadar kepatuhan lahiriah.

Karena itu, pemaksaan keyakinan—baik oleh negara, kelompok, maupun otoritas agama—bertentangan dengan ruh wahyu.

Tugas Nabi: Menyampaikan, Bukan Memaksa

Al-Qur’an secara konsisten menegaskan batas misi kenabian:

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ
“Maka berilah peringatan; sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah penguasa atas mereka.” (QS Al-Ghāsyiyah 88:21–22)

Bahkan Nabi Muhammad ﷺ tidak diberi mandat untuk memaksa manusia beriman. Jika Rasul saja tidak memiliki otoritas pemaksaan iman, maka tidak ada otoritas manusia mana pun yang berhak melakukannya.

Kebebasan sebagai Prasyarat Pertanggungjawaban

Mengapa Al-Qur’an memberi kebebasan memilih iman? Karena tanpa kebebasan, tidak ada pertanggungjawaban moral.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS Al-Insān 76:3)

Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah adalah penunjukan jalan, bukan pemaksaan langkah. Manusia bertanggung jawab karena ia memilih dengan sadar.

Iman, Akal, dan Kesadaran

Al-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk berpikir sebelum beriman:

أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kalian menggunakan akal?” (QS Al-Baqarah 2:44)

Seruan ini menegaskan bahwa iman Qur’ani bukan iman yang lahir dari ketakutan atau tekanan sosial, melainkan dari kesadaran rasional dan refleksi batin.

Iman yang dipilih secara bebas akan melahirkan komitmen etis yang lebih kuat, bukan kepatuhan semu.

Implikasi Sosial: Hidup Berdampingan dalam Perbedaan

Prinsip kebebasan beragama dalam Al-Qur’an juga melahirkan etika sosial:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS Al-Kāfirūn 109:6)

Ayat ini bukan relativisme, melainkan pengakuan terhadap pluralitas pilihan iman. Islam tidak menuntut keseragaman keyakinan, tetapi mengajarkan koeksistensi damai dan keadilan sosial.

Iman yang Dipilih Lebih Bermakna

QS Al-Kahfi 29 menegaskan satu prinsip kunci:
iman dalam Islam adalah pilihan sadar, bukan hasil paksaan.

Al-Qur’an:

  1. Mengakui kebebasan memilih iman.
  2. Menolak pemaksaan keyakinan.
  3. Menegaskan tanggung jawab moral atas pilihan.
  4. Menempatkan dakwah sebagai ajakan, bukan dominasi.

Dalam dunia yang masih sering menggunakan agama sebagai alat tekanan, pesan Al-Qur’an ini menjadi sangat relevan:

iman hanya bernilai jika lahir dari kebebasan dan kesadaran.

Example 120x600