Menurut data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (KUKM) tahun 2018, jumlah pengusaha UMKM mencapai 64,2 juta, atau 99,99% dari total pengusaha di Indonesia.
UMKM menyerap tenaga kerja sebanyak 117 juta orang, atau sekitar 97% dari total tenaga kerja dalam sektor usaha. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 61,1%. Mayoritas UMKM terdiri dari usaha mikro, yang mencapai 98,68%, dengan menyerap sekitar 89% tenaga kerja. Meskipun demikian, kontribusi usaha mikro terhadap PDB hanya sekitar 37,8%. Namun, di balik perannya yang vital, sektor UMKM masih dihadapkan pada berbagai rintangan, salah satunya adalah kompleksitas sistem perpajakan.
Sekilas Pajak UMKM di Indonesia
Pemerintah pertama kali memberlakukan tarif pajak UMKM melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013. Saat itu, tarif PPh Final UKM ditetapkan oleh pemerintah sebesar 1% dari total omzet usaha, yang diberlakukan pada peredaran bruto senilai Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak terakhir. Besaran PPh Final ini kemudian diturunkan menjadi 0,5% lewat PP Nomor 23 Tahun 2018. Dalam ketentuan baru ini juga diatur batasan waktu untuk dapat menggunakan perhitungan pajak UMKM.
Pada bulan Desember 2022, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah terbaru, yaitu PP No.55 Tahun 2022 sebagai turunan dari Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Peraturan tersebut salah satunya menangani pajak penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang sebelumnya diatur dalam PP No. 23 Tahun 2018. Ketentuan baru tersebut menjelaskan jika Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 500 juta dalam satu tahun pajak tidak dikenakan PPh final 0,5%. Selain itu, ada tambahan pula bagi subjek pajak yang dapat memanfaatkan ketentuan PPh final 0,5% yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)/Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma) dan perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang.
Rendahnya Kontribusi Penerimaan Pajak UMKM
Menurut informasi yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada tahun 2019, sumbangan Pajak Penghasilan final dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebesar Rp 7,5 triliun, yang merupakan sekitar 1,1 persen dari total pendapatan Pajak Penghasilan secara keseluruhan. Saat ini, andil pajak dari UMKM masih merupakan bagian kecil dari total pendapatan negara. Namun, potensi pendapatan pajak dari UMKM masih besar karena jumlah pelaku UMKM yang tersebar di Indonesia masih sangat banyak.
Kecilnya kontribusi penerimaan pajak UMKM dapat disebabkan setidaknya karena dua hal. Pertama, tarif tunggal untuk seluruh sektor. Penurunan tarif pajak UMKM dari 1% menjadi 0,5% dari omzet dianggap masih memberatkan bagi pengusaha UMKM. Tujuan penurunan tarif pajak UMKM untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak UMKM tampaknya belum tercapai. Penelitian yang dilakukan Meliandari dan Utomo (2022) menemukan bahwa penurunan tarif pajak UMKM belum mampu meningkatkan niat UMKM untuk membayar Pajak Penghasilan. Padahal, penurunan ini berpotensi menyebabkan penurunan pendapatan negara sebesar Rp2,5 triliun per tahun.
Kedua, threshold omzet yang terlalu tinggi. Menteri Keuangan, Sri Mulyani (2024) mengatakan bahwa threshold hingga Rp 4,8 miliar bagi wajib pajak UMKM termasuk threshold yang sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain. Berdasarkan data dari publiksai IMF yang berjudul “How to Design a Presumptive Income Tax for Micro and Small Enterprises” diketahui bahwa sebagian besar negara menetapkan threshold sebesar sekitar US$90.000 s.d. US$100.000. Bahkan banyak negara yang menetapkan threshold omzet di bawah itu. Threshold omzet pajak UMKM yang berlaku di Indonesia saat ini dapat menyebabkan wajib pajak terdorong untuk berlindung di bawah threshold (bunching effect).
Mencari Solusi: Menuju Sistem Perpajakan UMKM yang Ideal
Hal penting dalam pajak UMKM yaitu terkait penetapan threshold omzet untuk menentukan wajib pajak yang dapat menghitung pajak terutangnya dengan ketentuan pajak UMKM. Ketentuan yang berlaku saat ini mensyaratkan bahwa tarif pajak UMKM dikenakan terhadap wajib pajak UMKM yang pendapatannya di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Besaran threshold tersebut merupakan angka yang tinggi dibandingkan dengan negara lain. Dengan ambang batas (threshold) yang berlaku saat ini di Indonesia, wajib pajak cenderung untuk menempatkan diri di bawah batas tersebut sebagai tindakan perlindungan. Inilah yang dikenal sebagai bunching effect. Salah satu strategi untuk melindungi diri dari ambang batas ini adalah dengan memastikan agar omzet dalam satu tahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar.
Dalam publiksai IMF yang berjudul “How to Design a Presumptive Income Tax for Micro and Small Enterprises” secara umum menyarankan agar ambang batas (threshold) skema pajak berbasis omzet untuk UMKM disamakan dengan ambang batas (threshold) bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memungut PPN. IMF berpendapat bahwa wajib pajak yang mampu untuk mengenakan dan membayar PPN juga seharusnya mampu membayar PPh sesuai dengan peraturan umum.
Menurut Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024, pemerintah berencana untuk memperbarui ambang batas PKP sebagai bagian dari upaya perluasan cakupan pajak dan optimalisasi PPN. Perubahan tersebut diatur dalam Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Pajak atas Barang dan Jasa. Dalam laporan “Indonesia Economic Prospects,” World Bank merekomendasikan agar Indonesia menurunkan ambang batas PKP menjadi Rp 600 juta. Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Information Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat bahwa threshold dapat diturunkan menjadi Rp 2,5 miliar. Penurunan threshold ini penting agar para pelaku UMKM yang sudah naik kelas (omzet meningkat) dapat dikenakan tarif pajak dengan ketentuan umum, sehingga penerimaan pajak dapat lebih optimal.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu terkait tarif, saat ini pajak UMKM dikenakan dengan tarif tunggal sebesar 0,5%. Tarif ini dikenakan untuk seluruh wajib pajak di berbagai sektor. Padahal, presumptive tax seperti pajak UMKM dapat dirancang dengan mempertimbangkan sektor-sektor usaha yang mungkin sulit untuk dipungut pajaknya. Dalam publiksai IMF yang berjudul “How to Design a Presumptive Income Tax for Micro and Small Enterprises” diketahui bahwa beberapa negara membedakan tarif pajak UMKM berdasarkan sektor usahanya. Misalnya Armenia yang menetapka tarif 5% bagi wajib pajak sektor perdagangan dan 3,5% bagi wajib pajak sektor industri. Negara Prancis yang mengenakan tarif 1,7% wajib pajak sektor industry dan perdagangan, tarif 2,2% bagi wajib pajak sektor nonkomersial. Negara Maroko yang mengenakan tarif 0,5% bagi wajib pajak sektor perdagangan dan 1% wajib pajak sektor jasa.
Perbedaan tarif berdasarkan sektor wajib pajak UMKM tersebut dengan mempertimbangkan karena adanya perbedaan margin usaha perdagangan yang lebih rendah dibandingkan sektor jasa. Misalnya saja, wajib pajak UMKM yang menjalankan usaha perdagangan sembako mengambil keuntungan yang tipis di atas harga pokok penjualan (HPP). Demi mewujudkan keadilan (equity) bagi pengenaan pajak penghasilan UMKM, pembedaan tarif pajak UMKM berdasarkan sektor dapat dipertimbangkan. Hal ini juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dengan membedakan tarif bagi wajib pajak sektor usaha tertentu yang memperoleh laba lebih tinggi dibandingkan sektor lain. Terkait tarif, IMF menyarankan menghindari menetapkan tarif pajak berbasis omzet yang terlalu rendah, tetapi juga tidak terlalu tinggi. Tarif yang terlalu tinggi justru akan mendorong pelaku UMKM untuk tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Memperkuat Kontribusi Pajak UMKM: Strategi Mendesain Ulang Threshold Omzet dan Tarif PPh UMKM”,
Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/ammar1234/6637c6e1de948f39082d8574/memperkuat-kontribusi-pajak-umkm-strategi-mendesain-ulang-threshold-omzet-dan-tarif-pph-umkm?page=all
Kreator: Ammar Ramadhan