LombokPost-Nama Hj Baiq Zuhar Parhi tiba-tiba muncul sebagai Bakal Calon Wakil Wali Kota Mataram.
Politisi perempuan ini menjadi perbincangan, karena dalam Pemilihan Legilatif (Pileg) 2024 kemarin, ia baru saja terpilih sebagai anggota DPRD Kota Mataram dari PKS.
Apakah Parhi politisi ambisius?
Parhi, pendatang baru dalam kancah perpolitikan ibu kota.
Namanya belum setenar petahana ataupun politisi lain yang telah malang melintang di percaturan politik ibu kota.
Di tengah banyak pembicaraan kabar ia akan bertarung di Pemilihan Wali (Pilwali) Kota Mataram, pada Lombok Post Parhi akhirnya buka suara.
“Ini murni perintah partai. Saya sama sekali tidak punya ambisi ke sana,” tegasnya di sebuah lokasi tongkrongan, jalan Majapahit, Kota Mataram, pada Lombok Post, Jumat malam (24/5).
Parhi mengatakan, sebelumnya, tidak pernah berpikir ke panggung Pilwali.
“Apalagi di PKS saya ini pendatang baru, ya tidak mungkinlah saya langsung bilang mau jadi wali kota,” ungkapnya.
Tetapi hasil pertimbangan tim 8 — bentukan PKS untuk menjaring figur calon wali kota/wakil wali kota di internal partai — mengeluarkan tiga nama.
Di dalamnya salah satunya termasuk nama Parhi.
Sedangkan dua nama lainnya yakni Hj Niken Saptarini yang merupakan istri mantan Gubernur NTB Zulkieflimansyah.
Satu lagi, anggota DPRD Kota Mataram Hj Istiningsih.
“Saat itu saya belum iyakan, karena bingung. Saya juga masuk dalam daftar caleg di Dapil Mataram. Jadi mau fokus memenangi Pileg dulu,” tuturnya.
Usaha Parhi dan tim membuahkan hasil luar biasa.
Muncul sebagai pendatang baru dan tampil di urututan caleg nomor 5 PKS, Parhi sukses terpilih sebagai anggota DPRD Kota Mataram periode 2024-2029.
Lebih mengesankan lagi, Parhi salah satu caleg yang meraih perolehan suara tertinggi di dapil tersebut.
“Saya kemudian diingatkan pimpinan partai ada satu tugas lagi yang harus saya laksanakan yakni tampil dalam Pilwali 2024,” ucapnya.
Hal ini sesuai keputusan tim 8 mengerucutkan dari tiga nama menjadi satu nama.
“Dan satu nama yang tersisa itu nama saya,” ungkapnya.
Parhi mengungkapkan dilemanya. Di satu sisi, sebagai kader partai yang taat dan loyal ia ingin menjalankan tugas-tugas partai yang diberikan padanya.
“Apalagi saya ini baru, jadi saya harus menunjukkan ketaatan pada partai,” ungkapnya blak-blakan.
Namun di sisi lain, sebagai politisi yang pertama kalinya terpilih sebagai anggota dewan, ia berharap dapat melaksanakan tugas kedewanan sesuai amanat rakyat yang diberikan padanya.
“Saya ingin bekerja untuk masyarakat yang telah mengamanatkan suaranya pada saya,” ucapnya.
Dalam situsi membingungkan itu, Parhi kemudian menemui elite partai dan mengajukan usul.
“Saya sampaikan, saya bersedia tampil, tapi sebagai bakal calon wakil wali kota untuk pak Mohan (petahana),” ucapnya.
Usul itu telah didasari pertimbangan politik rasional dan realistis.
Sebagai pendatang baru, tidak banyak orang yang tahu siapa dirinya jika mencalonkan diri sebagai wali kota.
“Golkar yang kemungkinan besar mencalonkan lagi pak Mohan, masih kurang satu kursi. PKS dapat menjalin koalisi dengan partai Golkar untuk menuhi syarat minimal (delapan kursi) mengusung pasangan calon,” paparnya.
Jika tugas partai itu nantinya berpasangan dengan Mohan Roliskana, maka ia berbesar hati mengundurkan diri sebagai anggota DPRD Kota Mataram 2024-2029.
“Tapi kalau selain itu, saya lebih memilih tetap menjadi anggota dewan,” harapnya.
Usul ini telah ia kemukakan pada elite PKS Kota Mataram.
“Karena itu, saya serahkan sepenuhnya pembicaraan politik kemungkinan koalisi Golkar-PKS pada pimpinan partai,” paparnya.
Hingga kemarin, Parhi baru sebatas mengambil formulir pendaftaran di PKS saja.
“Saya belum mengembalikannya,” ucapnya tersenyum.
Ia belum berencana mendatangi partai lain untuk meminta dukungan dan koalisi.
Sejauh ini lebih memilih menunggu perkembangan komunikasi elite partainya terkait peluang koalisi Golkar-PKS.
“Ibaratnya kita baru selesai perang (di Pileg 2024), sumber daya kita banyak terkuras, kini diminta perang lagi (di Pilkada 2024),” celetuknya lalu tertawa ringan.
Andai saja aturan tidak mengharuskan anggota DPRD 2024-2029 mengundurkan sebagai syarat bertarung di Pilkada Serentak 2024, maka perintah partai itu akan dilaksanakannya.
“Saya ini kan tipikal petarung, jadi kalaupun sumber daya banyak terkuras, saya tidak masalah tarung lagi. Tapi karena harus mundur, ya kita berpikir rasional,” ungkapnya.
Profil Parhi, sebelum jadi politisi bukan kaleng-kaleng.
Anak kelima dari tujuh bersaudara — adik dari Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaeda — ini telah malang melintang di birokrasi pemerintahan daerah hingga pusat.
Di daerah ia pernah menjadi pejabat teras di Biro Hukum Pemerintahan Provinsi NTB, Satpol PP NTB, Biro Administrasi Kerja Sama dan SDA NTB, Badan Kepegawaian Daerah NTB, dan Sekretariat DPRD NTB.
Sedangkan di pusat, Parhi pernah menjadi Kepala Kantor Penghubung Pemda NTB dan bekerja di Inspektorat Jendral Kemendagri.
Dua jabatan ini meluaskan jaringannya di pemerintah pusat.
Di keorganisasian, Parhi mengetuai DPP IKAPTK NTB. Juga pernah menduduki sekretaris Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) yang merupakan sayap partai Golkar.
Pengalamanya di berbagai jabatan birokrasi membuka pandangangannya tentang dua hal penting tulang punggung kemajuan daerah.
“Ekonomi dan pendidikan,” ucapnya.
Saat diminta pendapatnya tentang hal yang dapat dilakukan bila terpilih jadi wakil wali kota, Parhi ingin fokus memperjuangkan lapak PKL bagi pedagang kaki lima.
“Mereka kerap menyebut diri sebagai pedagang ‘maju mundur’, maju ketika tidak ada penetiban, mundur ketika tim penertiban pemeirntah mulai menindak,” ujarnya.
Pemerintah harus bekerja sungguh-sungguh menyediakan tempat yang layak bagi PKL berdagang.
“Jangan hanya fokus menggelar karpet merah untuk investasi tetapi pedagang kecil kita uber-uber usahanya,” ucapnya.
Menurutnya, pemeirntah ada untuk memfasilitasi ekonomi rakyat agar tidak muncul kesenjangan yang terlalu tumpang.
“ Sedangkan investor memang sudah kuat dari permodalan,” paparnya.
D pendidikan, Parhi melihat masih banyak persoalan.
Salah satunya sistem zonasi yang kerap tidak adil dalam praktik lapangannya.
“Yang paling dibuat kesulitan adalah anak-anak yang orang tuanya berpisah. Saya pernah menangani ada anak tinggal di satu lingkungan dan semestinya masuk di sekolah terdekat. Tapi karena namanya di KK tercantum ikut ayah atau ibunya yang telah berpisah, anak itu tidak bisa masuk di sana,” tuturnya.
Ini hanya salah satu potret miris pendidikan ibu kota di tengah rumitnya aturan yang dibuat.
“Anak yang tinggal dengan neneknya, akhirnya tidak bisa bersekolah di sekolah yang dekat dengan tempat sekolahnya,” ucapnya.
Dua isu ini akan jadi fokusnya setelah dilantik sebagai anggota DPRD Kota Mataram periode 2024-2029.
Tidak hanya, ketika terpilih menjadi wakil wali kota saja. “Saya pribadi dengan pak Mohan, pernah bertemu sekali saat pelantikan pengurus IKAPTK kota. Setelah itu, tidak pernah bertemu secara khusus. Ini menegaskan bahwa saya memang tidak pernah berambisi. Ini murni perintah partai,” pungkasnya. (zad/r3)