Oleh : Alif Purnomo*Alif Purnomo, salah satu Wakil Sekretaris Jenderal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) , dan owner Kedai Kopi Gunung baru saja menyelesaikan studi Magisternya dengan cemerlang. Dalam Sidang Magister yang diadakan pada tanggal 28 Juni 2024, Alif mempresentasikan tesisnya yang berjudul “Implementasi Multiple Intelligences untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran di School of Human, Kota Bekasi, Sebuah Kajian Komparatif“
ppmindonesia.com, Jakarta– Melalui tesis ini saya mencoba mengembangkan pemahaman tentang sebuah model kecerdasan yang lebih egaliter dan manusiawi. Dalam pandangan ini, semua anak itu pada dasarnya cerdas.
Pandangan ini mengkritik keras rezim tes Intelligence Quotient (IQ) yang saat ini mendominasi dunia pendidikan kita. Test Intelligence Quotient besutan Alfred Binet tahun 1900-an dengan berbagai variasinya telah menghasilkan vonis kecerdasan secara deskriminatif. Rentang hasil penilaiannya juga sangat lebar, dari yang sangat menggembirakan hingga memilukan.
Melalui tes Intelligence Quotient ((IQ) menghasilkan kesenjangan dari “si paling berbakat” hingga “si paling tidak berbakat.” Berbahagialah mereka si jenius nan berbakat lagi pintar yang selalu disanjung, tapi merana lah “si bodoh” yang selalu dirundung. Seolah-olah seperti itu deskripsinya.
Tak heran beberapa waktu lalu muncul sebuah pernyataan yang kejam dari seorang tokoh: “anak-anak stunting konon kecerdasannya akan setara dengan hewan.” Wow teganya…
Miris mendengar hal tersebut. Muncul perenungan mendalam: bagaimana mungkin Tuhan yang maha sempurna bisa menciptakan produk segagal itu. Bukan kah kalau produk gagal berulang-ulang itu mencerminkan ketidaksempurnaan produsennya? Itu pikiran yang kerap mengganggu saat saya ngopi sendiri.
Akhirnya setelah membaca sejumlah buku, beberapa jurnal, dan merenung, saya menemukan bahwa masih ada perlawanan terhadap dominasi ide kecerdasan di atas. Sejak tahun 1970-an sudah mulai muncul kritik terhadap teori tersebut.
Salah satunya datang dari Howard Gardner di tahun 1983. Melalui bukunya yang berjudul Frames of Mind: Teori Multiple Intelligences tahun 1983, dan beberapa buku setelahnya, dia mengatakan bahwa kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan suatu masalah, dan menciptakan suatu (produk) yang bernilai dalam suatu budaya.
Dalam hal ini dia mempercayai bahwa kecerdasan itu bersifat multi, dia menamainya sebagai kecerdasan jamak alias Multiple Intelligences (MI). Awalnya dia menyebutkan 7 jenis kecerdasan, lalu dia melengkapinya menjadi 9 dalam buku yang lain. Jenis kecerdasan ini mungkin akan terus berkembang lebih banyak seiring hasil penelitian para ilmuwan.
Akhirnya saya memutuskan membuat riset tentang bagaimana model kecerdasan jamak tersebut bisa mewujud di sekolah. Model yang saya teliti didahului dengan sebuah asesmen terhadap siswa untuk menemukan jenis kecerdasan dominan yang dimiliki dengan menggunakan instrumen Multiple Intelligences Research (MIR). Selanjutnya sekolah akan bekerja atas dasar peta kecerdasan yang dimiliki untuk membantu siswa merancang masa depannya.(alip purnomo)