Scroll untuk baca artikel
Tokoh

In Memorium Ija Rahmat

215
×

In Memorium Ija Rahmat

Share this article
IJa Rahmad tokoh gerakan pemberdayaan pedagang grosir
Example 468x60

 

IN MEMORIAM IJA RAHMAT

Untuk mengingat jasa dan perbuatan baik almarhum  dalam perjuangan kerakyatan, mikul dhuwur, mendem jero……..”

Ija Rahmat pejuang keyakyatan tidak pernah mengeluh (doc APGKI)

Oleh, Ainur Rofiq

ppmindonesia.com- IJA RAHMAT [1953-2012], pendiri KOPERAT PGK PPM, APGKI PPM  dan Koperasi Daya KramaNusatara . Sabtu, 23 Juni 2012, pagi buta sekitar pukul 05.00 WIB handphoneku berbunyi. Suaranya memecahkan kesunyian pagi rumahku

Bojonegoro  [kebetulan aku sedang di Bojonegoro konsolidasi Program PPM Daerah Blok Cepu, meliputi Kabupaten Blora, Bojonegoro, Tuban dan Lamongan dalam rangka menyusun program “Revitalisasi BUMDes”]. Aku beranjak bangkit mengambil HP, tapi nada panggil keburu berhenti. Panggilan Tak Terjawab : Wabi. Aku miscal Wabi agar telpon balik, karena pulsaku tak cukup untuk melakukan panggilan ulang. Tiba-tiba firasatku muncul dalam lintasan kesadaranku : “ada apa dengan pak Ija Rahmat?”. HPku kemudian berdering, aku segera angkat dan orang diseberang bicara :

“……Bapak tidak ada, mas Rofiq.Meninggal tadi pagi Pukul 04.00 WIB” kata Wabi, anak pertama pak Ija Rahmat yang kuliah di Universitas Tri Sakti.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun” gumamku
“Sakit apa Bi…….?” tanyaku kaget, hampir tak percaya.
“Diare.Sudah 3 hari sakit, tapi bapak tidak mau berobat ke dokter”.Kata Wabi terbata-bata.

Sekitar pukul 06.00 WIB aku beli pulsa dan seluruh aktifis PPM se-Indonesia aku kabari bahwa pak Ija Rahmat, pendiri dan tokoh utama Pedagang Grosir Keliling [PGK] yang kemudian bersama PPM Nasional pada tahun 1993 mendirikan Koperasi Peranserta Pedagang Grosir Keliling [Koperta PGK PPM] dan tahun 2004 mendirikan Asosiasi Pedagang Grosir Keliling Indonesia [APGKI PPM], meninggal dunia, Sabtu, 23 Juni 2012 pk 04.00 WIB.

Diantara tokoh yang menggalang berdirinya Koperta PGK PPM selain pak Ija Rahmat adalah Prof. Dr. M Dawam Rahardjo [Ketua Presidium PPM Nasional dan bertindak sebagai  Wali Penjamin kredit PGK ke 6 BUMN]], Adi Sasono dan Ali Mustafa Trajutisna [sebagai Pembina], Parito, Imam NH dan Mardjono SR serta aktifis PPM lainnya aktif menggalang. Sebagai pengurus, Pak Ija Rahmat duduk sebagai Ketua Koperta PGK PPM , sedang manajemen dipegang oleh Anwar Haryono [General Manager] dan Ainur Rofiq [Manager  Simpan Pinjam Koperta PGK PPM] dan Parito [Pembina Aktif Koperta PGK PPM]. Koperta PGK PPM beranggotakan 5000 Pedagang Grosir Keliling, karena keterbatasan likwiditas  hanya separo yang mampu dilayani skim kredit Koperta PGK PPM. Ada skim kredit modal kerja besarnya Rp 300.000/anggota, skim kredit Investasi [sepeda ontel untuk PGK pikul] besarnya Rp 110.000/anggota dan kredit pondokan antara Rp 1 juta-Rp 5 juta/pondokan.  Dari total pinjaman 6 BUMN Rp 310 juta [1993], pada tahun ke kedua [1995] omzetnya mencapai Rp 1 Milyar. Pada tahun 1993, bersama PPM Nasional, Pak Ija Rahmat dan Mardjono SR mendirikan Assosiasi Pedagang Kakilima Indonesia APKLI PPM DKI Jakarta, dimana Mardjono SR duduk sebagai Ketua APKLI PPM DKI Jakarta. Pada tahun 2004, almarhum mendirikan Asosiasi Pedagang Grosir Keliling se-Indonesia [APGKI PPM]  beranggotakan 28.000 anggota dan Koperasi Daya Krama Nusantara [Kodaknus], menggantikan Koperta PGK PPM yang karena suatu hal divakumkan.

Bapak Ija Rahmat, menurut keterangan dalam KTP yang diterbitkan Kelurahan Slipi, Palmerah, Jakarta Barat,  lahir di Jakarta 15 Oktober 1953. Berarti saat meninggal almarhum berusia sekitar  59 tahun. Tapi Wabi membantah bahwa usia bapak lebih dari itu dan bapak lahir di Cirebon, bukan di Jakarta.

“Gara-gara KTP itu petugas kelurahan dimarahi bapak agar KTP tersebut diganti karena tidak benar.Bapak lahir di Cirebon.Kata Nenek, ibunya bapak, bapak itu seusia dengan pohon kelapa yang tumbuh di depan rumah Kebon Pala, Tanah Abang” kata Wabi.

Ingatanku melayang seminggu yang lalu di Cirebon.  Minggu, 17 Juni 2012, aku ke Cirebon dalam rangka mengikuti pelatihan Trading Forex di Hotel Apita, Kota Cirebon bersama Kunedi, Kadis, Rosyid dan Dedi. Mereka semua adalah Pedagang Grosir Keliling [PGK], anak didik almarhum. Kunedi sekarang menjadi sopir bus “Sinar Jaya” jurusan Jakarta-Wonosobo, Kadis berprofesi sebagai pedagang bunga keliling di Jakarta, Rosyid pedagang tanaman hias di Bekasi dengan omset puluhan juta rupiah per hari dan Dedi karyawan di perusahan MPS Management, penyelenggara bisnis Forex di Cirebon. Aku sudah hampir 5 bulan tidak ketemu almarhum, sejak kantor PPM Nasional pindah dari Jl. Haji Samali ke Perumahan Kalibata Indah, Jl. Nangka F18, Kalibata.

Almarhum bilang ke saya “….aku tidak akan menginjak kantor PPM Nasional kalau Sekjennya masih yang itu [Mahmuddin]. Tapi kalau mas Rofiq yang mengundang, saya akan datang”.

Aku tidak tahu ada konflik apa antara Pak Ija Rahmat dengan Pak Mahmuddin. Dan terbukti almarhum datang ketika saya undang dalam acara Hari Ulang Tahun PPM yang ke 27, tanggal 31 Januari 2011 di Samali.Almarhum bangga menjadi bagian dari PPM.

“Saya bisa begini diajari PPM mas Rofiq. Pak Ali Mustafa guru dan komandan saya….” Katanya suatu ketika.

Tapi sejak kantor pindah ke Perum Kalibata Indah, almarhum belum pernah menginjakkan kaki, kecuali bertanya kepada saya alamat kantor baru PPM Nasional.

Aku 2 hari di Cirebon dan bersama Kunedi, Kadis, Rosyid dan Nanto [keponakan almarhum] mencoba mencari bapak Ija Rahmat. Aku mampir ke rumah Martono, adik almarhum,  di desa Kreo, Kecamatan Klangenan, Cirebon. Menurut keterangan Martono, pak Ija Rahmat ada di Jakarta, di rumah istri pertama di Slipi [almarhum mempunyai 2 istri.Istri pertama tinggal di Jakarta dan istri muda tinggal di Cirebon]. Tiba-tiba muncul firasat seolah-olah aku sudah tidak akan ketemu dengan pak Ija Rahmat lagi. Waktu aku balik ke Jakarta, bodohnya aku, tidak berusaha mencari pak Ija Rahmat, karena saat bersamaan aku harus konsolidasi program PPM Daerah Blok Cepu mempersiapkan program Revitalisasi BUMDes. Dan Sabtu pagi, 23 Juni 2012, telp Wabi memecah keheningan pagi buta Kota Kalitidu-Bojoneoro, pak Ija Rahmat meninggal dunia.

Pak Ija Rahmat, yang aku kenal, adalah pejuang tangguh. Tidak pernah mengeluh dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan.Beliau taat beribadah dan menunaikan kewajiban sholat 5 waktu. Beliau memulai hari-harinya,  setiap pagi, sebelum memulai aktifitas, dengan sholat Dhuha. “Biar dilapangkan rejekinya…” katanya. Setelah sholat Dhuha, minum teh manis dan sarapan seadanya. Setelah itu pamit pada istri untuk “ngantor” dan baru kembali larut malam. “Ngantor” bagi almarhum bukan dalam pengertian benar-benar ke kantor seperti kita pada umumnya, tapi keliling [naik angkot dan jalan kaki] diseantero Jabodetabek menyambangi anggota [PGK] di Pondokan-pondokan yang terletak di gang-gang sempit Jakarta. Pondokan PGK mirip asrama Gulag, satu rumah dikontrak rame-rame sekitar 20-30 orang bersama sepeda dan barang dagangan.Dipondokan inilah almarhum bercengkerama dengan anggota mirip klompencapirnya Presiden Soeharto dengan Kelompok Tani.Di “Klompencapir” ini, saya tidak melihat perbedaan antara Pak Ija Rahmat dengan Presiden Soeharto.Mereka berdua, kebetulan sudah almarhum, sama-sama mencintai kelompok masyarakat terpinggirkan dan seolah-olah menemukan dunia tersendiri yang sulit dicari gantinya.Disini pak Ija Rahmat menemukan kebahagiaan, ketawa dan bersenda gurau, walaupun seringkali dikantongnya tidak terselip uang sesenpun.Dari hasil Klompencapir ini pak Ija Rahmat tahu keluh kesah dan harapan PGK.Biasanya almarhum kemudian ngajak diskusi saya selama kurun waktu 1993-2000. Belakangan ada partner diskusi lain, seperti Suprajitno, Imam Sutrisno dan Eka Nuryaman.

Seringkali keluhan PGK adalah kekurangan modal. Lewat Koperta PGK PPM ataupun APGKI PPM/Kodaknus PPM, biasanya almarhum menjembatani dengan lembaga keuangan [Bank] dan/atau program PKBL/CSR.

Bank biasanya bertanya: “Koperta PGK PPM/APGKI PPM punya agunan apa?”.

Menghadapi pertanyaan seperti ini, biasanya, almarhum dengan lugas menjawab “bapak minta agunan apa? Tinggal pilih Tugu Monas, Stasiun Gambir atau pulau Jawa,  tinggal sebutkan saja. Untuk rakyat kecil kok tanya agunan. Konglomerat dikasih milyaran bahkan trilyunan, dikemplang lagi, agunannya apa kalau tidak setara Tugu Monas atau Stasiun Gambir?” Gerutu pak Ija Rahmat.

Suatu kali penulis diajak presentasi, kalau tidak salah, di Bank Bukopin Sudirman.Pak Ija Rahmat dan saya, menghadap Kepala Kredit Pedesaan Bank Bukopin.Saya diminta almarhum untuk menerangkan skema organisasi Koperta PGK PPM dan Kelompok KTR. Setelah sekian waktu presentasi, saya menilai Bapak Kepala Kredit Pedesaan Bank Bukopin tidak menunjukkan atensi apapun dan cenderung tidak peduli terhadap apa yang saya sampekan. Dia asyik dengan komputernya.Saya menoleh kepada Pak Ija Rahmat dan almarhum memberi isyarat agar saya terus paparan.Saya paparan lagi.Disela-sela paparan, saya lirik pak Ija Rahmat, diam seperti mengheningkan cipta.Tiba-tiba saja Bapak Kepala Kredit Pedesaan Bank Bukopin menunjukkan sikap berubah 180 derajat, menunjukkan atensi luar biasa dan sangat responsip. Diluar gedung Bukopin, dalam perjalanan pulang, saya tanya kepada pak Ija Rahmat, kenapa tadi tiba-tiba Bapak Kepala Kredit Pedesaan Bank Bukopin berubah total, menunjukkan respon yang baik? Pak Ija Rahmat sambil nyengir menjawab, “ kalau tidak berubah total, dia bisa mati duduk dik Rofiq….”.

Almarhum juga pejuang yang tabah.Sering dia harus menanggung resiko atau mengambil tanggung jawab atas perbuatan yang tidak sepenuhnya secara sadar dia mengerti.Seperti ketika almarhum harus masuk Salemba tahun 1997.Tapi dasar pak Ija Rahmat, di dalam buipun dia menjadi “coordinator”.Dia tariki napi-napi bermata sipit yang ditahan karena ngemplang kredit dan kejahatan ekonomi lainnya.Uang hasil tarikan dibelikan bolam mengganti bolam yang terangnya temaram dan mengecat tembok tahanan agar tidak kusam.Banyak tahanan terkena sakit bengek karena ruang tahanan lembab.

“lebih enak di dalam dari pada di luar dik Rofiq” kata Pak Ija Ramhat ketika berkunjung ke  kantor saya di Kebayoran Lama setelah lepas dari Salemba. Dia aku tawari satu meja agar “ngantor” di kantor saya, tapi beliau tidak mau.

“Kok bisa begitu pak Ija…..? Tanya saya

“Sebab di dalam aku punya penghasilan Rp 2 juta setiap bulan, tapi diluar…..?” katanya enteng saja, tidak dilanjutkan.

Dimataku, Pak Ija Rahmat sudah aku anggap orang tuaku sendiri.Hubunganku dengan Pak Ija Rahmat sudah seperti hubungan bapak-anak.Ketika aku menjalani operasi besar di Rumah Sakit Husada Cibinong, Bogor pada Agustus 1995 Pak Ija Rahmat yang membantu saya.Betigu juga ketika aku menikah pada 11 Desember 1995, Pak Ija Rahmat juga yang menikahkan saya.Keluarga pak Ija Rahmat tidak ubahnya juga keluargaku sendiri. Bu Ida  Rahmat sering mewanti-wanti saya agar mendampingi Bapak agar “tidak salah jalan”.

“Bapak sangat percaya pada dik Rofiq” kata Bu Ida Rahmat.

Pak Ija Rahmat telah berpulang ke rahmatullah, banyak teman tidak bisa datang melayat.Hanya mas Parito dan pak Yusuf HR datang melayat almarhum.“Saya mau melayat, tapi tidak tahu alamat rumahnya. Saya hanya dikasih tahu pak Ija tinggal di Slipi” kata Pak Adi Sasono yang disampaikan ke saya dan mas Parito, ketika kami berkunjung ke pak Adi di Kantornya Gedung  Arthaloka. Para teman seperjuangan almarhum lainnya sedang bertebaran di muka bumi menunaikan tugas sebagai khalifah.Memang tidak ada kabar sebelumnya tentang kesakitannya pak Ija Rahmat.Jadi beliau benar-benar mendadak meninggal dimata teman seperjuangannya. Walaupun demikian, doa mengalir dari seluruh penjuru mata angin dipanjatkan oleh teman-teman seperjuangan beliau di Koperta PGK PPM, APGKI PPM, APKLI PPM dan PPM dari seluruh Indonesia. “Semoga seluruh perjuanganmu mendapat berkah Allah SWT dan keluarga yang ditinggal diberi ketabahan dan kesabaran.SELAMAT TINGGAL KAWAN, SEMOGA KAU MENDAPAT TEMPAT YANG LAYAK DISISINYA, amin ya rabbal alamin”.

Perjuanganmu tidak  akan mati
walaupun kau sudah berkalang tanah
Tunas-tunas baru siap mengganti
Lanjutkan asa menggapai berkah
Illahi Robbi………….

[Ainur ROFIQ, xbt 1708’12]

Example 120x600