Journoliberta.com – Mahasiswa UIN Jakarta menggelar aksi “Tolak Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan” yang bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional di Taman Literasi UIN Jakarta, Kamis (2/5). Aksi ini menjadi buntut ketidakpuasan mahasiswa terhadap kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diatur dalam Surat Keputusan (SK) Rektor 512 Tahun 2024.
Dalam aksi #MahasiswaUINJakartaMenggugat, terdapat beberapa poin yang dituntut dan disuarakan mahasiswa seperti peniadaan cicilan UKT, penggolongan UKT yang tidak sesuai dengan finansial mahasiswa, serta sarana dan prasarana akademik yang tidak maksimal dalam menunjang perkuliahan. Kebijakan baru mengenai UKT dinilai hanya akan membebani mahasiswa tanpa memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan ekonomi yang ada.
Ketua Umum Dewan Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), Najib Jayakarta, mengungkapkan bahwa tidak ada keterbukaan informasi dari pihak UIN Jakarta terkait kebijakan baru UKT. Menurutnya, penerbitan SK Rektor secara mendadak telah menjebak mahasiswa baru yang diterima terlebih dahulu melalui jalur SPAN PTKIN dan SNBP.
“SK Rektor itu sendiri kalo melihat dari Peraturan Menteri Agama No 7 Tahun 2018, UKT yang mengatur adalah menteri agama bukan rektor. Sedangkan belum ada pembaruan sejak Keputusan Menteri Agama No 32 Tahun 2023, jadi UKT itu seharusnya belum ada kenaikan,” kata Najib saat diwawancarai di depan Gedung Rektorat UIN Jakarta, Kamis (2/5).
Perwakilan mahasiswa telah mengajukan audiensi kepada pihak rektorat, namun hasilnya masih ditahan di Biro Administrasi Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama (AAKK) terkait kebijakan baru UKT.
“UIN Jakarta itu kan belum Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH), jadi seharusnya rektor tidak punya wewenang untuk menaikan UKT,” tambahnya.
PTN BH merupakan tingkatan tertinggi dalam hal otonomi sehingga pihak kampus memiliki kontrol penuh atas aset, keuangan, dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga kependidikan (tendik). Dalam hal ini, Najib berpendapat bahwa UIN Jakarta dituntut untuk segera menjadi PTN BH sehingga rektor mengeluarkan kebijakan secara mendadak untuk menaikan UKT.
“Tetapi permasalahannya rektor seharusnya memahami kebijakan tentang PTN BH. PTN BH itu bagaimana universitas dapat mengelola asetnya dan harus ada pendapatan yang sesuai. Jadi, bukan berarti kampus berhak atau dapat mengeruk uang mahasiswa,” tuturnya.
Sementara di sisi lain, audiensi terkait kenaikan UKT bersama Dekanat telah menghasilkan beberapa poin. Salah satunya adalah kenaikan UKT sebesar 45-51 persen tidak sejalan dengan suara dari fakultas yang menyarankan sebesar 30-40 persen. Meskipun demikian, pada peraturan terbaru pihak fakultas mempunyai hak banding jika penggolongan UKT tidak sesuai dengan kondisi ekonomi mahasiswa.
Artikel telah tayang di journolberta.com dengan judul “Langkahi Keputusan Menteri Agama, Mahasiswa UIN Jakarta Gugat Kenaikan UKT,