RESEARCH - mae, CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia – China berambisi besar menjadikan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mereka sebagai core dari manufaktur global. Pengembangan UMKM juga menjadi bagian penting dari China Grand Strategic Goal: “A Leading High-end Manufacturing Superpower,”.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Tiongkok menyatukan peran kolaboratif dan mensinergikan stakeholder dalam pengembangan UMKM sebagai driver pertumbuhan. Negara juga mengambil perananan penting sebagai akselerator dan orkestrator dengan perangkat kebijakan yang menjangkau seluruh fungsi strategis mencakup pembiayaan, pemberdayaan, inkubasi, teknologi, akses pasar, serta iklim persaingan yang konstruktif bagi UMKKM.
Pengembangan pelaku UMKM berbasis teknologi tinggi di China menjadi salah satu objektif kunci dalam kebijakan pengembangan industri dan ekonomi di China menuju rencana strategis Made in China 2025 (MIC).
Direktur Bisnis Mikro PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Supari mengatakan keseriusan pemerintah China serta kolaborasi menyeluruh inilah yang bisa dicontoh Indonesia.
“Mungkin bisa kita meniru China kalau kita memvisikan UMKM kita. China itu memvisikan UMKM nya aligned dengan visi UMKM China 2025,” tutur Supari di Program Khusus BRI Microfinance Outlook 2024 CNBC Indonesia, di Jakarta, Rabu (06/03/2024).
China Grand Strategic Goal: “A Leading high-end Manufacturing Superpower,” merupakan ambisi China untuk menjadi super power. Di sektor UMKM pada 2025 mendatang, China berambisi memiliki 1.000 UMKM inovatif, sekitar 100.000 UMKM khusus, 10.000 perusahaan raksasa kecil, dan 1.000 perusahaan manufaktur champion hingga 2025.
Supari menjelaskan China memiliki empat kebijakan penting dalam pengembangan UMKM. Empat kebijakan penting tersebut di antaranya adalah:
1.Pembiayaan UKM berkualitas tinggi
China memberikan komitmen pembiayaan sekitar CNY 10 pada 2021-2025 serta dukungan training, investasi dan lain-lain.
2.Mendorong kolaborasi riset dan pengembangan
Kebijakan kolaborasi strategis yakni lembaga inkubator seperti universitas, badan riset, dan peneliti
3, Integrasi UMKM ke dalam rantai pasok korporasi
Mendorong korporasi dan BUMN untuk melakukan sourcing teknologi kepada UMKM yang diwujudkan dalam bentuk Key Performance Indicator(KPI) atau indikator kinerja utama
4.Penguatan paten dan HAKI UMKM
Kebijakan dan kemudahan akses, pendampingan, pendaftaran, serta utilisasi paten bagi UMKM
Supari menjelaskan prasarana pengembangan UMKM di China sebenarnya sudah ada di Indonesia, seperti badan/lembaga keuangan, badan riset, hingga peran pemerintah.
Namun, menurutnya, Indonesia belum memiliki orkestrator khusus yang menyelaraskan kebijakan.
“Di Indonesia ternyata kita punya semua. hanya masalahnya orkestrasi yg belum kuat,” imbuh Supari.
Dia menambahkan secara kontribusi kepada ekonomi, peran UMKM di Indonesia hampir sama yakni 60-61% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, China mampu mencatatkan PDB per kapita sebesar US$ 12.720 atau sekitar RP 199.068.000 (kurs US$ 1= 15.650). Sementara itu, PDB per kapita di Indonesia hanya US$ 4.580 atau sekitar Rp 71.677.000.
Supari mengatakan salah satu pembeda UMKM China dan Indonesia adalah terkait literasi digital dan keuangan.
Tingkat literasi UMKM China mencapai 87% sementara Indonesia baru 49,68%. Tingkat inklusi pelaku UMKM China juga jauh lebih tinggi yakni 97% sementara Indonesia hanya 85,1%
Rasio akses kredit UMKM China sudah mencapai 64,9% sementara Indonesia hanya 19,6%.
“Terdapat gap sangat jauh dari tingkat literasi China dan Indonesia yang menjadi salah satu tantangan bagi Indonesia dalam melakukan percepatan literasi keuangannya untuk dapat meningkatkan kapabilitas para pelaku UMKM,” imbuhnya.
Artikel telah tayang di ; https://www.cnbcindonesia.com/research/20240307153434-128-520469/belajar-dari-china-ini-cara-jadikan-umkm-jadi-raksasa