Muhammad Iqbal Khatami – detikNew
Jakarta – Dalam sebuah agenda seminar nasional yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Ketua KPI Pusat menyatakan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran memiliki urgensi untuk memperjelas definisi antara media baru, media sosial, media digital dan irisannya dengan media konvensional.
Di samping itu, Revisi UU Penyiaran menurutnya juga akan didorong sebagai langkah penguatan kelembagaan KPI, khususnya dalam hal hubungan koordinasi antara KPI Pusat dan KPI Daerah. Adapun revisi UU Penyiaran ditargetkan selesai dan disahkan tahun ini.
Langkah pengaturan ruang digital di Indonesia memang memiliki urgensi tersendiri ketika berefleksi pada kondisi dan permasalahan di ruang digital saat ini. Seperti misalnya masifnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tidak selaras dengan peningkatan kualitas konten yang hadir. Ditambah dengan permasalahan literasi digital yang masih menjadi PR kita, termasuk tanggung jawab platform digital untuk menjadi gatekeeper atas konten-konten yang tidak berkualitas.
Dalam prosesnya saat ini, Revisi UU Penyiaran ini juga tidak lepas dari sorotan pro-kontra publik. Salah satunya yang disoroti adalah potensi perluasan cakupan wewenang KPI yang berdampak pada larangan berlebihan atas konten digital.
Perlu Batasan Definisi
Dalam revisi UU Penyiaran, terdapat dua istilah yang menjadi fokus, yaitu lembaga penyiaran dan platform penyiaran digital. Lembaga penyiaran mencakup TV swasta, TV berbayar, dan TV komunitas, sementara platform penyiaran digital merupakan konsep baru yang memungkinkan KPI untuk merambah ke dunia digital.
Meskipun pada awalnya kita mungkin mengasosiasikan platform penyiaran digital dengan aplikasi streaming mainstream yang populer seperti Netflix, Vidio, dan Viu, namun definisi yang diberikan dalam Pasal 94 memiliki cakupan yang sangat luas. Pasal 94 menyatakan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan Platform Digital Penyiaran mencakup layanan siaran suara atau siaran suara-gambar, namun tanpa batasan yang jelas mengenai jenis konten yang termasuk dalam wilayah regulasi UU ini.
Penyelenggara platform digital penyiaran didefinisikan sebagai pelaku usaha baik perseorangan maupun lembaga yang bertanggung jawab atas konten siaran yang disampaikan melalui platform digital tersebut.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah rezim hukum yang menyatukan sekaligus menyamakan sanksi untuk penyiaran digital dan penyiaran konvensional. Padahal, secara prinsip dan substansi, teknologi digital saat ini sangat kompleks yang jika dipaksakan dalam rezim hukum yang sama maka berpotensi bias.
Di samping itu, beberapa larangan dalam revisi ini dianggap berlebihan. Misalnya, larangan terhadap konten yang terkait dengan narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, unsur mistik, serta LGBTQ+. Kendati demikian, kekurangan definisi yang jelas dalam larangan-larangan tersebut membuka ruang bagi multiinterpretasi dan penyalahgunaan, yang berpotensi mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan.
Regulasi yang memiliki celah semacam itu dapat menghambat kreativitas konten dan kebebasan berbicara, bahkan mengancam kebebasan pers dalam era digitalisasi saat ini. Oleh karena itu, penting untuk merumuskan regulasi yang lebih tepat dan komprehensif untuk memastikan perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan ekspresi
UU Penyiaran sebagai Solusi
UU Penyiaran tidak hanya harus mampu mengatasi tantangan dalam ruang digital yang semakin kompleks, tetapi juga harus menjaga keseimbangan antara perlindungan publik dan kebebasan berekspresi. Revisi UU ini menjadi krusial dalam menanggapi dinamika media digital yang terus berkembang, namun perlu diingat bahwa langkah ini harus diambil dengan hati-hati. Menjadi kritis terhadap proses revisi adalah penting, karena risiko menghadapi masalah baru dalam penegakan sanksi di masa depan.
UU Penyiaran harus dapat mengakomodasi perubahan-perubahan dalam ekosistem media digital. Namun, proses revisi tidak boleh terburu-buru dan harus memperhatikan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang mendasar. Lebih dari itu, revisi tersebut harus merupakan upaya bersama untuk kepentingan bersama, bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.
Pengawasan konten siaran dalam ruang digital memang menjadi tantangan besar. Dengan luasnya dan kompleksitasnya ruang digital, pengawasan efektif menjadi sulit dilakukan. Penting untuk mendorong tanggung jawab platform penyiaran dengan mengimplementasikan audit kelembagaan seperti pemeringkatan atau rating program siaran. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mendorong lembaga penyiaran agar menghasilkan konten yang berkualitas dan mematuhi standar yang ditetapkan.
Selain itu, literasi yang baik di kalangan publik juga sangat penting. Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang media, mereka dapat menjadi konsumen informasi yang lebih cerdas dan kritis. Pemahaman yang baik tentang bagaimana media beroperasi dan bagaimana mereka mempengaruhi opini dan persepsi dapat membantu masyarakat untuk mengambil keputusan yang lebih informatif dan mendukung demokratisasi informasi. Oleh karena itu, pendidikan literasi media harus didorong secara luas di semua tingkatan masyarakat.
Baca artikel detiknews, “Melihat Posisi Media Baru dalam Revisi UU Penyiaran” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-7337865/melihat-posisi-media-baru-dalam-revisi-uu-penyiaran.