KOMPAS.com – Layanan internet satelit Starlink yang resmi masuk Indonesia beberapa waktu lalu, disebut bisa menjadi ancaman bagi pertahanan dan keamanan Tanah Air di masa depan.
Pakar keamanan siber sekaligus Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber (CISSReC), Pratama Persadha mengatakan bahwa Starlink harus didesak untuk segera menyediakan Network Access Provider (NAP) di Indonesia.
Dengan menjadi NAP, Starlink tidak bisa jualan secara bebas dan langsung ke pelanggan individu/rumah (business to consumer/B2C) seperti sekarang.
Sebagai NAP, Starlink bakal menyediakan infrastruktur dasar seperti router, switch, dan konektivitas jaringan yang memungkinkan pertukaran lalu lintas data antar-berbagai jaringan.
Infrasturktur inilah yang dijual ke penyedia internet (ISP) dan operator seluler lokal di Indonesia (model business to business/B2B). Kemudian, ISP/operator seluler memanfaatkan infrastruktur Starlink ini untuk menghubungkan pelanggan mereka ke ke internet global.
Jadinya, pengguna bisa mengunjungi situs-situs luar negeri dengan koneksi Starlink yang cepat, misalnya.
Dengan model bisnis seperti ini, sistem Starlink setidaknya bersinggungan dengan infrastruktur telekomunikasi dalam negeri (milik ISP/operator seluler lokal).
Jika tidak, kata Pratama, penggunaan Starlink akan mendatangkan beberapa ancaman pada stabilitas keamanan Indonesia.
“Buta dan tuli” pada ancaman
Ancaman pertama, Indonesia menjadi tidak memiliki akses dan kontrol terhadap pertukaran data yang terjadi lewat internet satelit Starlink. Ini karena Starlink jualan langsung ke pelanggan individu/rumah, tidak melalui infrastruktur dalam negeri milik ISP/operator seluler lokal.
“Bayangkan Starlink tidak menggunakan infrastruktur yang ada di Indonesia. Artinya, tidak ada pengawasan, monitoring, pembatasan dan lain-lain untuk operasi Starlink di Indonesia,” kata Pratama saat berbincang dengan KompasTekno, Selasa (28/5/2024).
Pratama menjelaskan, kegiatan pengawasan, pemantauan, dan pembatasan ini bukan dalam artian yang negatif. Namun, penting untuk memantau kegiatan yang mengancam keamanan Indonesia. Misalnya, ada bandar narkoba yang menggunakan Starlink untuk menjual narkoba, ada otak teroris atau orang-orang yang mengancam keamannan Indonesia.
Misalnya, ada bandar narkoba yang menggunakan Starlink untuk menjual narkoba, ada otak teroris atau orang-orang yang mau menghancurkan Indonesia berkomunikasi lewat internet Starlink.
Namun, aparat hukum atau badan intelijen Indonesia tidak punya informasi tersebut karena tidak punya akses ke Starlink.
Selama ini, aparat hukum menerapkan lawful intercept (LI), proses di mana lembaga penegak hukum atau badan keamanan dapat secara legal mengakses komunikasi pribadi individu atau organisasi dengan izin dari pengadilan atau undang-undang yang relevan.
Proses ini umumnya digunakan untuk tujuan penegakan hukum, penyelidikan kriminal, dan keamanan nasional. Aparat hukum Indonesia kehilangan kemampuan lawful intersept ini di layanan Starlink.
“Aparat keamanan ini kalang kabut karena alat-alat monitoring dan penyadap yang sekarang dimilik menjadi alat yang ‘buta dan tuli’ dengan adanya sistem Starlink ini. Mereka tidak punya akses, tidak bisa mengawasi sama sekali,” kata Pratama.
Inilah yang bisa menimbulkan ancaman bagi keamanan Indonesia.
Pratama menambahkan, selama Starlink tidak menggunakan infrastruktur dalam negeri, Indonesia hanya bisa memohon ke Starlink untuk membagikan informasi yang dapat menggangu stabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan dan keamanan negara.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah Starlink akan memberikan akses ke informasi tersebut ketika diminta.
“Karena sampai sekarang pun, pemerintah kita agak susah dapet akses informasi ke platform media sosial (Meta, Instagram, Twitter, TikTok, dll),” kata Pratama.
Jadi, ketika ada akun-akun yang menggangu dan bermasalah dan diminta dihapus (take down), platform tidak melakukannya dengan alasan kebebasan berkespresi.
“Harusnya pemerintah punya power gitu. Kenapa kita tidak bisa punya power? Karena tidak punya bargaining power. Kenapa kita nggak punya bargaining power? Karena kita tidak punya sistem yang sama dengan sistem yang mereka miliki, sehingga kita tidak bisa melawan,” kata Pratam
Bisa jadi senjata
Ancaman lain, satelit Starlink bisa diretas oleh penjahat dan dijadikan senjata untuk menyerang wilayah suatu negara, termasuk Indonesia.
Per 30 Mei 2024, menurut data di situs satellitesitemap.spacem, Starlink dilaporkan telah meluncurkan konstelasi satelit yang terdiri dari 6.380 satelit ke orbit rendah Bumi atau Low Earth Orbit (LEO). Starlink menargetkan meluncurkan 42.000 satelit di LEO.
LEO adalah wilayah di sekitar Bumi yang berada pada ketinggian antara sekitar 160 km hingga 2.000 km di atas permukaan Bumi.
Dari 6.380 satelit, sekitar 4.834 satelit aktif memberikan layanan internet satelit ke seluruh wilayah operasi Starlink. Sisanya, ada 1.146 satelit tidak aktif dan 405 satelit terbakar. Nah, 4.834 satelit yang aktif ini tersebar di seluruh dunia, termasuk di atas langit Indonesia. Satelit ini diprogram untuk posisi di luar angkasa bahkan posisi jatuhnya jika rusak/ tidak terpakai.
“Nah ini kalau ada yang bisa (meretas), lalu diprogram untuk dijadikan senjata dan dijatuhkan ke negara kita. Apakah kita sudah siap?” kata Pratama. Menurut Pratama, dengan jarak orbit yang relatif lebih dekat ke bumi, satelit Starlink ini bisa saja tidak habis terbakar ketika bergesekan dengan atmosfer bumi.
“Jika kita tidak siap, ini menjadi ancaman. Orang nggak perlu lagi pasang bom, tingga hack satelit satu lalu dijatuhkan. Selama sistem satelit itu terkoneksi ke internet, di situ titik kerawanannya muncul,” kata Pratama.
ncaman lain juga bisa datang jika Starlink digunakan digunakan oleh aparat hukum, aparat militer, aparat intelijen di Indonesia. Padahal, Starlink ini adalah perusahaan asal Amerika Serikat.
AS memiliki Foreign Intelligence Surveillance Act. Sebuah undang-undang yang mengatur prosedur untuk pengawasan dan pengumpulan informasi intelijen asing yang dilakukan oleh agen-agen pemerintah, seperti FBI dan NSA, yang menyangkut warga negara asing dan, dalam beberapa kasus, warga negara AS.
“Dengan UU itu, setiap intitusi di AS sebenarnya harus memberikan akses informasi/data kepada pemerintah AS jika dibutuhkan. Jadi, mereka (Starlink) pasti akan nurut dengan pemerintah AS,” kata Pratama.
Maka dari itu, Pratama menegaskan, pemerintah harus bisa memaksa Starlink minimal untuk menjadi Network Access Provider (NAP) di Indonesia.
“Supaya Starlink jangan jualan langsung. Starlink harus manfaatkan/kerja sama dengan provider lokal (untuk menyediakan layanan internet satelitnya),” kata Pratama.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Starlink Bisa Bikin Pertahanan Indonesia "Buta dan Tuli"",