Scroll untuk baca artikel
Artikel

Pilkada dan Pasar Kebodohan

259
×

Pilkada dan Pasar Kebodohan

Share this article
Suara dan keinginan masyarakat agar korupsi bisa diberantas tercermin dalam mural yang menghiasi tembok di Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (27/8/2023).(KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Example 468x60

SEMAKIN menemukan kesimpulan bahwa hukum hari ini sesuai dengan wajah siapa yang berkuasa.
Trias politika akhir-akhir ini semakin tidak relevan saja tujuannya, karena kekuasaan eksekutif sangat kuat (executive heavy) sehingga dua lembaga lain (legislatif dan yudikatif) hanya pengekor dari surplus kekuasaan eksekutif.

Checks and balances tinggal menjadi dokumen lusuh dalam lanskap ketatanegaraan sekalipun kekuasaan presiden sudah diamandemen pada awal reformasi.

Keputusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang mengabulkan gugatan mengenai pembatasan tafsir usia calon kepala daerah menjadi contoh dan bukti apa yang menjadi hipotesis di atas benar dan terang.

Determinasi politik sangat kentara dan telanjang sekali dalam putusan tersebut.

Bagi kaum positivistik tentu saja putusan itu sah dan tidak mengandung kecacatan etik dan moral. Namun, dari jubah positivistik tersebut kekuasaan mencari keabsahan, bahkan mungkin legitimasi kepentingannya.

Pensucian kepentingan politik melalui lembaga peradilan ampuh dibandingkan arena atau bentuk kompromi lain. Parodi hukum di atas kembali menegasikan saja perasaan publik setelah tragedi peradilan (Mahkamah Konstitusi) sebelum pemilu legislatif tanggal 14 Februari 2024 dipentaskan.

Maka mengamini apa yang disampaikan oleh Baudrillard dalam bukunya ‘Simulation’ bahwa realitas hukum tidak memiliki referensi terhadap masyarakat.

Oleh sebab itu, hukum hari ini bukanlah yang sepenuhnya tidak bertapak terhadap realitas masyarakat, tapi hasil dari simulasi hukum yang mengandung di dalamnya manipulasi, tukar menukar kepentingan, intimidasi, dan penyandaraan.

Artinya hukum sebagai entitas bersentuhan dengan entitas politik, hukum mengalami perubahan dan evaluasi genus pada entitas itu sendiri, yang telah merusak prinsip dasar, esensi, substansi, kondisi umum dan paradigmanya.

Tepatnya hukum memisahkan diri dengan cita-cita esensi dan tujuan hukum itu sendiri karena naiknya penumpang gelap, yaitu kekuasaan.

Alhasil kebenaran tidak lagi ditemukan, namun dibuat di pabrik yang saat ini bernama peradilan dan itulah praktik perselingkuhan hukum dan politik atau, meminjam Yasraf A Piliang, imagologi hukum.

Media sosial: pasar kebodohan

Setelah pesta demokrasi pemilu legislatif (pileg) tanggal 14 Februari 2024 selesai, sekarang masyarakat dihadapkan dengan pemilu kepala daerah (Pilkada) tanggal 27 November 2024. Pilkada yang akan dihelat memiliki nuansa yang sama dengan pileg, meski dengan aroma berbeda.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pilkada dan Pasar Kebodohan", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/06/08/10165441/pilkada-dan-pasar-kebodohan.
Example 120x600