Oleh : Guntoro Soewarno, Peneliti di Institut Pengembangan Masyarakat (Ipama) dan Owner Ali Organic Farm (ALO FARM) Semarang.
ppmindonesia.com- Jakarta– Hari-hari ini, publik disuguhkan dua peristiwa besar yang memalukan. Pertama jebolnya data nasional oleh ckrecker canggih, temannya Bjorka. Kedua, impor pangan senilai 10,6 juta ton dan impor beras 3,7 juta ton. Impor yang begitu besar sepanjang sejarah Indonesia merdeka sejatinya pengakuan kita akan ketidakberdayaan menghadapi krisis pangan. Di semua group WA jadi trending topik bahwa krisis pangan sudah di depan mata.
Pusat data nasional Menkominifo dibangun dengan anggaran Rp 2,7 triliun. Sementara untuk memelihara menurut Menkeu per Mei 2024 sudah melahap anggaran sebesar Rp 700 miliar.
Faktanya dengan rancang bangun semahal itu, bisa dijebol dengan sempurna. Publik akhirnya tahu bahwa Data Nasional sepenting itu hanya punya back up satu lapis, mestinya berlapis-lapis dan total data yang ada back up-nya ternyata cuma 2%.
Ketika cracker bisa membobol sampai sebegitu banyaknya data, itu artinya sistem keamanan data sepenting itu sangat lemah. Agus Maksum, pakar IT kelas dunia menyebut, data yang berhasil dicuri oleh cracker itu saat menyedot butuh waktu dua hari.
Mestinya, menurut Agus, kalaulah tim IT kalah ilmu dengan para cracker itu, langkah yang sederhana matikan pusat data itu. Tapi ini kok bisa, data dicuri selama puluhan jam dibiarkan saja.
Organg-orang IT di Kementerian Menkominfo pasti orang-orang hebat. Saat tender sistem IT pasti diikuti oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia, yang sangat paham soal IT. Standardisasi sistem keamanannya juga pasti dibahas agar jadi paling canggih, karena menelan anggaran sampai Rp 2,7 triliun.
Lalu kenapa begitu lemahnya data itu dijebol? Jawabannya ada dua kemungkinan. Pertama, cracker penjebol data itu kelewat canggih ilmunya. Atau kedua, saat membangun sistem IT itu ada skandal korupsi besar-besaran, sehingga sistem yang dibangun sangat lemah kayak krupuk.
Sampai hari ini Jokowi diam. Tidak berkomentar apapun. Karena sebagaimana publik, Jokowi juga masih terbengong-bengong malu. Karena kasus ini menjadi ejekan kelas dunia. Menunjukkan secara telanjang kalau Indonesia begitu lemah dalam soal IT.
Publik perlu diingatkan, saat Bjorka bereaksi, Menko Polhukam Mahfud MD mengerahkan semua daya untuk mengungkap skandal itu. Dan hasilnya nol besar. Ini tamparan kedua untuk Jokowi lagi.
Krisis Pangan
Di ujung kekuasaanya Jokowi juga menunjukkan ketidakberdayaannya terhadap ancaman krisis pangan. Menteri Jokowi, Amran Sulaiman melemparkan warning serius agar semua pihak menangani ancaman krisis pangan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak sebesar 45 juta warga Indonesia bakal kelaparan. Itu kata pak Menteri.
Biasanya menteri selalu gagah menegaskan bahwa pasokan stabil dan terjaga. Baru kali ini ada Mentan yang kelewat jujur.
Masih menurut Mentan, krisis pangan juga terjadi di dunia. “Kondisi pertanian dunia sekarang krisis pangan, krisis energi. Khusus pangan itu juga terjadi di beberapa negara, baru saja kami ke Vietnam, Vietnam biasanya surplus 5-8 juta ton, 2 minggu lalu ketemu Menterinya bilateral, itu hanya surplus 300 ribu ton, Thailand penurunan 2 juta ton produksi, Indonesia 4 juta ton, China shortage 2,8 juta ton, ini kita harus mitigasi risiko yang akan terjadi di depan karena krisis di depan mata saat ini,” kata Amran.
“Ada 59 negara yang kelaparan, jumlah penduduknya sampai 900 juta, hari ini saudara kita hampir 1 miliar orang kelaparan, nggak ada pangan,” sebut Amran.
Indonesia hari ini dihadapkan pada persoalan produktivitas pangan yang terjun bebas. Rata-rata produksi padi nasional 6 ton per ha. Di lapangan hari ini cuma 4 ton per ha. Sementara kebutuhan pangan terus meningkat akibat angka kelahiran yang tidak bisa dibendung. Rata-rata angka kelahiran per tahun sebesar 2.14% atau per tahun rata-rata ada kelahiran baru sebesar 4,2 juta jiwa.
Krisis pasokan pangan akan memicu inflasi, efeknya nilai rupiah akan terus merosot. Harga-harga akan melambung. Krisis ekonomi dan berlanjut ke krisis sosial dan politik akan terjadi jika persoalan pangan tidak bisa diatasi.