ppmindonesia.com, Jakarta-Ukuran yang paling adil dari penerapan metode gerakan kebudayaan adalah hanya satu, tunggal tidak jamak, yaitu sejarah. Oleh sebab itu, pertanyaan yang relevan dalam metode ini bukan pada apa yang dapat diberikan Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) kepada masyarakat, melainkan apa yang harus dilakukan masyarakat untuk diri sendiri.
Dalam PPM, masyarakat dapat melakukan sesuatu dan belajar dari apa yang dia lakukannya sendiri. PPM sebagai wahana berkarya dan belajar (learning community) pada dasarnya adalah universitas kehidupan (university of life).
Namun, apa yang dapat dilakukan PPM hanyalah berupaya menyediakan sebanyak mungkin prasyarat agar rakyat bangkit ber-swadaya untuk menolong, membangun, dan berdiri di atas kaki sendiri dalam pemenuhan minat, kebutuhan, dan kepentingan bersama. PPM lebih menekankan pada arti penting dinamisasi sistem dan struktur kemasyarakatan yang menyelimuti kehidupan rakyat.
Sebagai contoh, di lingkungan masyarakat miskin sering ada keluhan kekurangan modal (dana) untuk merintis usaha yang sekiranya menguntungkan. Namun, sama sekali tidak ada jaminan masalahnya akan terselesaikan dengan diberi dana.
Sebab, peristiwa tidak ada dana pada dasarnya adalah peristiwa tentang adanya faktor-faktor yang melingkupi yang menyebabkan tidak ada dana atau modal.
Nah, singkaplah faktor-faktor itu dan rubahlah! Mungkin mereka kurang kerja keras? Atau sudah cukup bekerja keras, tapi tidak memiliki cukup faktor produksi yang liquid?
Atau mungkin faktor produksinya cukup dan semangat kerjanya tinggi, tapi barangkali dia tidak cukup memiliki informasi, koneksi, dan proteksi untuk membuka kesempatan untuk dirinya?
Realita kemiskinan bukanlah realitas kekurangan modal atau keterbatasan keterampilan dan manajemen, melainkan menunjuk pada adanya kendala yang bersifat struktural dan makro.
Di suatu masyarakat mungkin ada keluhan tidak ada air. Seorang pekerja sosial seyogyanya tidak perlu langsung memberi pompa hidram atau pipanisasi air dari sungai yang jauh ke lokasi itu.
Masalahnya, mungkin masyarakat belum menggali sumur? Atau sudah menggali tapi kurang dalam? Atau sudah cukup dalam, tapi air tetap tidak ada?
Mengapa penduduk masih mau tinggal di situ? Atau perlu pertanyaan yang lebih ke belakang lagi bagaimana sejarah pemikiran itu? Dan, bagaimana sampai air tidak ada? Mengapa mereka tidak pindah tempat saja atau bertransmigrasi? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab dahulu.
Namun, jika tetap perlu dimasukkan teknologi pengadaan air, seyogyanya mereka sendiri yang mengusahakan, bukan pekerja sosial. Mengapa?
Adagium PPM: Jangan beri seseorang itu ikan, sebab dia hanya bisa makan sehari. Tapi, tak perlu juga diberi pancing, sebab belum tentu dia suka memancing, atau yang pasti, dia bukan anak kita. Yang bisa kita lakukan adalah menempelengi mereka (secara metodologis) untuk membantu mereka meraih harga diri dan tanggung jawabnya sendiri. Sebagian besar peristiwa kemiskinan terkait dengan pertanyaan: Who Am I?
Dalam PPM, yang terpenting adalah ideologi kerakyatan dan metodologi pengembangan masyarakat. Dari waktu ke waktu PPM menimba pengalaman, bahwa muatan terbesar dalam ideologi itu adalah metodologi. Sebagai contoh, sangat diyakini bahwa pemerintah sungguh ingin membangun rakyat.
Namun, karena ekonom dan teknokrat konsultan pembangunan tidak pernah belajar tentang sosial ekonomi kerakyatan, yang muncul adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan padat karya yang hanya memberikan kesempatan kerja sesaat kepada rakyat, itupun tidak merata. Pengentasan kemiskinan dan pengentasan pengangguran dianggap sebagai fungsi dari pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi sendiri dikaitkan dengan cadangan devisa, neraca pembayaran, nilai tukar, dan laju inflasi, sehingga pemerintah sebagai public corporation hanya perlu berurusan dengan dunia usaha swasta besar, BUMN, dan dirinya sendiri (sektor pemerintahan).
Pengentasan kemiskinan dan pengatasan pengangguran dianggap hanya tergantung pada kemakmuran ketiga sektor modern ini sebagai broker kemiskinan dan pengangguran. Dan ketika broker ini jeblok, maka rakyat mengalami jeblok yang ekstrapolatif.
Menyadari hal ini, apalagi setelah berakhirnya blok Timur-Barat, maka PPM semakin bergerak ke tengah dan menjadi “Gerakan Jalan Tengah” untuk mengedepankan metodologi sembari mentransformasikan ideologi menjadi ideopraxis, ideologi aplikatif.(ppm)