Scroll untuk baca artikel
BeritaKhazanah

Batas Tipis Antara Keuntungan dan Keserakahan: Sebuah Analisis Islam

55
×

Batas Tipis Antara Keuntungan dan Keserakahan: Sebuah Analisis Islam

Share this article
ilustrasi (doc.ppm)
Example 468x60

ppmindonesia.com, Jakarta-Dalam dunia perdagangan dan bisnis, sering kali terjadi perdebatan mengenai berapa besar keuntungan yang pantas diambil dari suatu barang dagangan. Tidak jarang, pedagang dan pebisnis mengambil keuntungan yang sangat besar, bahkan mencapai 100% atau lebih. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai hal ini? Apakah mengambil keuntungan besar diperbolehkan, ataukah hal tersebut dianggap sebagai keserakahan?

Dalam Islam, prinsip dasar perdagangan adalah kejujuran dan keadilan. Setiap pedagang dan pebisnis diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari barang dagangannya tanpa ada batasan tertentu dari syariat. Mereka dapat mengambil keuntungan sedikit atau banyak, bahkan hingga 100% atau lebih dari modalnya, selama tidak ada unsur penipuan dan tidak menzalimi orang lain.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ yang menyebutkan bahwa seorang pedagang boleh menjual barang dengan harga modal, lebih murah dari harga modal, atau lebih mahal. Ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW: “Jika dua barang berbeda jenis, maka kalian juallah sesuai kemauan kalian.”

Dalil lain yang mendukung kebolehan mengambil keuntungan besar adalah hadis riwayat Imam Al-Bukhari. Diceritakan bahwa Urwah bin Abi Al-Ja’d Al-Bariqi diberi uang satu dinar oleh Nabi Muhammad SAW untuk membeli seekor kambing. Urwah kemudian membeli dua ekor kambing dengan satu dinar tersebut, dan menjual satu ekor kambing dengan harga satu dinar.

Ia datang kepada Nabi dengan membawa satu dinar dan satu kambing. Nabi pun mendoakannya agar diberkahi dalam setiap jual-beli, sehingga Urwah selalu untung dalam berdagang, meskipun yang dijual hanya segenggam tanah.

Meskipun Islam memperbolehkan mengambil keuntungan besar, ada anjuran untuk tidak melebihi standar pasar. Jika keuntungan melebihi standar pasar, maka dianggap sebagai al-ribh al-fahisy atau keuntungan yang tidak etis.

Kitab Yas-alunaka fi al-Din wa al-Hayah juga menyebutkan bahwa agama melarang pengambilan keuntungan yang berlebihan, yaitu keuntungan yang melebihi batas yang berlaku di masyarakat. Para ulama memiliki berbagai pendapat mengenai ukuran keuntungan yang wajar.

Sebagian mengatakan, keuntungan yang tidak melampaui 1/3 dari modal masih dianggap wajar, sementara sebagian lainnya menyebutkan batas 1/6 dari modal atau sesuai kebiasaan masyarakat setempat.

Allah SWT menjelaskan anjuran berdagang menurut Islam dalam surah Al-Baqarah ayat 275:
“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.

Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”

Rasulullah SAW adalah sosok yang patut dicontoh dalam berdagang, termasuk dalam hal kejujuran, cinta kasih, dan profesionalisme. Rasulullah selalu jujur dalam menjelaskan kelebihan dan kekurangan barang dagangannya, yang membuatnya dihormati oleh banyak orang.

Selain itu, beliau selalu berusaha agar bisnisnya memberikan manfaat bagi orang lain dan tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan.

Rasulullah juga dikenal kreatif dan visioner dalam berbisnis. Beliau memilih bidang perdagangan karena melihat potensi besar di kota Mekkah yang kurang cocok untuk pertanian. Sebelum memulai bisnis, Rasulullah memahami pasar dengan melakukan perjalanan dan mempelajari kebiasaan masyarakat setempat.
Strategi menguasai pasar ala Rasulullah mencakup segmentasi, targeting, dan positioning.

Dengan segmentasi, Rasulullah mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan berbagai segmen pasar. Dalam targeting, beliau memilih pasar yang sesuai dengan kondisi dan daya beli masyarakat. Sementara itu, positioning dilakukan dengan membangun personal branding sebagai pedagang yang jujur dan tepercaya.

Dengan mengikuti prinsip-prinsip bisnis Islam, diharapkan para pedagang dan pebisnis dapat menjalankan usaha mereka dengan berkah dan sukses, tanpa mengorbankan moralitas dan etika. Memahami batas tipis antara keuntungan dan keserakahan adalah kunci untuk mencapai keseimbangan dalam bisnis yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam (ppm)

Referensi:
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7308986/yuk-terapkan-tips-berdagang-ala-rasulullah-agar-bisnis-sukses-dan-berkah
https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/boleh-gak-sih-mengambil-untung-besar-dalam-islam

Example 300250
Example 120x600