Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Mengenang Mas Hadimulyo: Aktivis, Pemikir, dan Sahabat yang Tak Kenal Lelah”

3
×

Mengenang Mas Hadimulyo: Aktivis, Pemikir, dan Sahabat yang Tak Kenal Lelah”

Share this article
Example 468x60

” Selamat Jalan, Pejuang Kemanusiaan: Mengenang Mas Hadimulyo dan Perjuangannya dalam Sosial, Politik, dan Hak Asasi’ Oleh Mas M.Habib Chirzin”

ppmindonesia.com, Magelang – Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Mas Hadimulyo, seorang sahabat, aktivis pergerakan, dan pemikir yang dedikasinya pada pembangunan sosial, hak asasi manusia, serta advokasi publik telah menginspirasi banyak orang. Mas Hadi, begitu beliau biasa disapa, adalah sosok yang tidak kenal lelah dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, baik di ranah lokal maupun internasional. Perjalanan hidupnya penuh dengan pengabdian dan ketulusan yang meninggalkan jejak yang mendalam bagi sahabat-sahabat dan rekan-rekannya.

Pada Januari 1984, Mas Hadimulyo hadir dalam acara pendirian Pusat Peran Serta Masyarakat (PPM) yang diadakan di kompleks WARA, Kaliurang, Yogyakarta. Acara tersebut juga dihadiri oleh tokoh-tokoh seperti Mas Adi Sasono, Ali Mustafa Trajutisna, dan Herry Yossi Yuswanto, yang bersama-sama dengan Mas Hadimulyo dan saya, terpilih sebagai Presidium pertama PPM. Acara penting ini turut disaksikan oleh dr. H. Kusnadi, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI, yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis PKU dan kemudian Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Selain di PPM, kami juga terlibat bersama di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), yang menerbitkan majalah “Ulumul Qur’an.” Sejak tahun 1987, Mas Hadimulyo dan saya semakin aktif di INFID (International NGOs Forum on Indonesian Development), sebelumnya dikenal sebagai INGI, di mana kami berdua menjadi bagian dari Komite Pengarah Indonesia (Indonesian Steering Committee).

Mas Hadi, sebagai Direktur LSAF, dan saya, sebagai Direktur Peace Forum (Forum on Peace and Development Ethics Studies), sering menghadiri konferensi internasional INFID di berbagai kota, seperti Brussels (1987), Scheveningen (1988), Berlin (1989), Paris (1990), Canberra (1991), dan Washington DC (1992). Sebelumnya, saya bersama Mas MM Billah turut hadir dalam pendirian INGI di Amsterdam pada tahun 1985, di mana kami berdua bertindak sebagai konsultan dan perwakilan NOVIB di Indonesia.

Salah satu pengalaman menarik kami terjadi saat menghadiri konferensi INFID di Berlin pada tahun 1989, tepat setelah Tembok Berlin runtuh. Kami menyeberang ke Berlin Timur melalui Checkpoint Charlie, yang dijaga oleh tentara sekutu dari Amerika, Inggris, Prancis, dan China. Dalam kesempatan tersebut, kami juga mengunjungi Humbolt Universitate, Max Planck Institute, serta Berlin Technische Universität, yang pernah mengadakan seminar tentang pesantren. Kami juga sempat mengunjungi Brandenburger Tor dan Unter den Linden. Sebelum ke Berlin, kami sempat singgah di museum tempat kelahiran komponis Ludwig van Beethoven di Bonn.

Setelah konferensi INFID di Paris pada tahun 1990, saya dan Mas Didik Rachbini berkeliling kota Paris. Kami sempat singgah di apartemen Lik Darwis Khudlori, yang saat itu menjadi dosen di Universitas Le Havre. Lik Darwis adalah sepupu ayah saya. Kami juga mengunjungi Universitas Sorbonne dan menelusuri tempat belajar Dr. Muhammad Rasyidi, seorang tokoh asal Kotagede yang kemudian menjadi Menteri Agama RI pada masa awal kemerdekaan.

Kunjungan pertama saya ke Paris terjadi pada tahun 1979, dan pada tahun yang sama, saya terpilih menjadi anggota Sekretariat International Study Days for Society Overcoming Domination (ISD) selama tiga tahun, dari 1979 hingga 1982. Organisasi ini berbasis di Paris dan berada di bawah koordinasi Dr. Chico Francisco Whitaker, salah satu inisiator World Social Forum (WSF) di Porto Alegre, Brazil.

Karena penerbangan kami kembali berangkat dari Bandara Schiphol, Amsterdam, kami sempat mengunjungi saudara dan teman-teman yang sedang menempuh studi S-3 di Universitas Leiden, di antaranya M. Fauzan Naif dari Kotagede dan Husnan Bey Fanani, cucu pendiri Pondok Modern Gontor yang kemudian menjadi Duta Besar Azerbaijan serta dosen di UIN Riau, yang kelak menjabat sebagai Rektor UIN Riau. Mereka dengan senang hati mengajak kami berkeliling kampus Universitas Leiden dan menikmati suasana kota yang tenang dan nyaman.

Saat menghadiri konferensi INFID di Washington DC pada tahun 1992, saya sudah berkomunikasi dengan sahabat baik saya, Ibu Gail Kesler, yang tinggal di Manhattan, New York. Kami berencana untuk tinggal di rumahnya setelah konferensi. Ibu Gail pernah berkunjung dan menginap beberapa hari di Pondok Pabelan.

Secara tak terduga, Ibu Gail Kesler menyusul kami ke Washington DC dan mengajak kami ke New York menggunakan mobilnya, yang ia kemudikan sendiri.

Setibanya di New York, Ibu Gail dengan hangat mempersilakan kami untuk tinggal di apartemennya dan menyerahkan kunci rumah kepada kami. Sementara itu, ia sendiri memilih menginap di rumah anaknya bersama kucing kesayangannya.

Selama di New York, kami berdua berkesempatan mengunjungi beberapa tempat, termasuk museum dan markas besar PBB.

Selamat jalan, Mas Hadi. Kebaikan hatimu, semangat, serta pemikiran dan ide-ide yang terus mengalir akan selalu kami kenang dan lanjutkan.(M Habib Chirzin)

 

Example 300250
Example 120x600