ppmindonesia.com, Jakarta,-Shalat dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai ibadah ritual yang menghubungkan manusia dengan Allah, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Ia menjadi salah satu rukun Islam yang paling utama, dan melalui shalat, seorang muslim diharapkan tidak hanya memperkuat hubungannya dengan Sang Pencipta, tetapi juga dengan sesama manusia.
Dalam konteks ini, shalat yang benar tidak hanya tentang kepatuhan kepada Tuhan, tetapi juga cerminan dari keadilan sosial dan kepedulian terhadap orang lain. Takwa yang sejati, yang lahir dari kesadaran penuh akan tanggung jawab spiritual dan moral, terwujud dalam tindakan nyata di dunia nyata.
Al-Qur’an menegaskan bahwa shalat memiliki fungsi yang lebih dari sekadar ritual. Dalam surah Al-Ankabut (29:45), disebutkan bahwa shalat berfungsi untuk mencegah perbuatan keji (fahsya) dan mungkar (kemungkaran). Ini berarti, shalat yang benar akan menciptakan efek transformasional dalam diri seseorang, sehingga mendorongnya untuk meninggalkan perbuatan buruk dan memperjuangkan kebenaran serta keadilan. Shalat yang sejati menuntut implementasi nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan kepedulian sosial dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam surah Al-Ma’un (107:1-7), Allah dengan jelas menghubungkan shalat dengan tanggung jawab sosial. Orang-orang yang tidak peduli terhadap anak yatim dan tidak berusaha memenuhi kebutuhan orang miskin, meskipun mereka melaksanakan shalat, dikategorikan sebagai pendusta agama.
Shalat mereka tidak memiliki makna yang sebenarnya, karena tidak diiringi dengan tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai shalat itu sendiri. Ini adalah peringatan keras bahwa shalat yang tidak diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap sesama hanyalah sekadar ritual kosong yang tidak akan membawa manfaat spiritual maupun sosial.
Takwa, sebagai tujuan utama dari ibadah seorang muslim, tidak hanya diukur dari seberapa taat seseorang dalam menjalankan ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi juga dari bagaimana ia berperan dalam masyarakat. Takwa sejati adalah kesadaran penuh akan kewajiban moral untuk menegakkan keadilan, membantu yang lemah, dan memerangi ketidakadilan. Seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Hujurat (49:13), orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, dan takwa itu terwujud dalam bentuk kepedulian terhadap sesama manusia.
Shalat yang sejati akan melahirkan komitmen kuat untuk menegakkan keadilan sosial. Dalam konteks ini, shalat bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Ketika seorang muslim benar-benar memahami makna shalat, ia tidak akan pernah lalai dalam memperjuangkan hak-hak orang miskin, anak yatim, dan mereka yang tertindas. Ia akan selalu berusaha menjadi agen perubahan yang memperjuangkan kebaikan dan keadilan di dunia ini.
Sebagai contoh, dalam surah Al-Balad (90:12-18), disebutkan bahwa jalan terjal menuju keberhasilan iman diukur melalui tindakan nyata seperti membebaskan manusia dari belenggu perbudakan dan menolong mereka yang membutuhkan. Ini adalah makna sejati dari “aqimus shalah” (tegakkanlah shalat), di mana shalat tidak hanya dipahami sebagai ritual pribadi, tetapi juga sebagai sebuah panggilan untuk terlibat aktif dalam memperjuangkan kesejahteraan umat manusia.
Dengan demikian, shalat yang benar adalah shalat yang membawa seseorang kepada pemahaman mendalam tentang tanggung jawab sosialnya. Ia bukan sekadar rangkaian gerakan dan bacaan, tetapi sebuah latihan spiritual yang mengajarkan pentingnya keadilan, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama. Takwa, yang merupakan hasil dari shalat yang benar, tercermin dalam tindakan nyata yang bermanfaat bagi orang lain, terutama mereka yang lemah dan tertindas.
Pada akhirnya, shalat yang sejati adalah shalat yang menjadikan seseorang lebih peduli terhadap sesama manusia dan lebih berkomitmen untuk menegakkan keadilan sosial. Takwa bukanlah sekadar konsep spiritual yang abstrak, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata yang membawa manfaat bagi dunia ini. Shalat dan keadilan sosial adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, di mana keduanya saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi semua umat manusia.(husni fahro-asyary)