Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ghonimah dan Alokasi Kekayaan dalam Perspektif Islam

206
×

Ghonimah dan Alokasi Kekayaan dalam Perspektif Islam

Share this article
Ilustrasi Harta Rampasan perang (ppm.doc)
Example 468x60

ppmidonesia.com, Jakarta– Dalam konteks keagamaan, khususnya Islam, istilah ghonimah sering kali dipahami sebagai rampasan perang, yaitu harta yang diperoleh setelah pertempuran. Pemahaman ini muncul dari beberapa ayat Al-Qur’an, seperti yang terdapat dalam surah Al-Anfal (8:41) dan Al-Hasyr (59:7), di mana kata tersebut digunakan untuk merujuk pada harta benda yang didapatkan selama peperangan atau tanpa peperangan. Namun, ketika kita telaah lebih dalam dari segi bahasa, istilah “ghonimah” sebenarnya berasal dari kata “ghonamum”, yang artinya sesuatu yang digembalakan atau dikelola. Ini juga berkaitan dengan pola penggembalaan kambing, yang membutuhkan pengelolaan.

Dalam Al-Qur’an, pengelolaan hasil atau harta ini memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar rampasan perang. Ketika Al-Qur’an menyebut “wama ghonimtum min sya’in”, maknanya bukan hanya merujuk pada hasil peperangan, tetapi juga pada segala sesuatu yang dikelola manusia, termasuk hasil usaha, kekayaan, dan sumber daya lainnya.

Maka, ayat Al-Anfal (8:41) yang mengatakan bahwa seperlima dari apa yang diperoleh (ghonimah) diperuntukkan bagi Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, adalah sebuah petunjuk mengenai pentingnya pembagian kekayaan yang adil dan berkeadilan sosial.

Istilah “shodaqoh” dalam Islam, yang kadang-kadang disamakan dengan zakat, juga memiliki cakupan yang lebih luas. Shodaqoh tidak hanya terbatas pada pemberian kepada mereka yang membutuhkan secara finansial, tetapi juga menyangkut pengelolaan sumber daya untuk membiayai sektor-sektor penting dalam masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan sosial. Al-Qur’an dalam surah At-Taubah (9:60) menyebut delapan kelompok yang berhak menerima shodaqoh, yang mencakup: fakir miskin, amil zakat, muallaf, memerdekakan budak, orang berhutang (ghorimin), dan orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah). Ini menunjukkan bahwa beban biaya yang diperlukan untuk membangun peradaban Islam sangat besar dan terus berlanjut.

Berkaitan dengan “fuqara” (kelompok pertama penerima shodaqoh), mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki waktu untuk mengurus kebutuhan hidupnya karena sibuk dalam tugas di jalan Allah. Dalam Al-Qur’an (Qs. Al-Baqarah 2:207), mereka digambarkan sebagai orang-orang yang mengorbankan dirinya demi ridha Allah. Ini mencakup para cendekiawan, pemimpin masyarakat, dan profesional yang bekerja demi kemajuan umat.

Selanjutnya, kelompok “masakin” merujuk pada mereka yang bertanggung jawab atas sarana dan prasarana yang mendukung masyarakat. Ini mencakup segala upaya yang berkaitan dengan pembangunan fasilitas umum, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial, sehingga umat beriman dapat menjalani kehidupan dengan dukungan yang memadai.

Kelompok “amilin” adalah mereka yang bertugas mengelola keuangan umat. Mengingat bahwa Islam menetapkan alokasi 20% dari kekayaan umat untuk diambil sebagai shodaqoh, mereka yang bertugas mengurus dana ini memikul tanggung jawab besar dalam mengelola dan menyalurkannya dengan benar. Dana tersebut harus dikelola dengan transparan dan sesuai dengan ketentuan syariat.

Istilah “muallaf” dalam pengertian ini juga tidak hanya merujuk pada orang yang baru memeluk Islam, tetapi juga pada mereka yang hatinya dalam pembinaan. Semua individu yang sedang dalam proses pendidikan, dari tingkat paling dasar hingga yang paling tinggi, berada di bawah tanggungan dana shodaqoh. Ini mencakup seluruh proses pembelajaran, baik di bidang ilmu pengetahuan agama maupun sekuler.

Kelompok penerima shodaqoh selanjutnya adalah “ar-riqab”, yaitu mereka yang bekerja dalam misi tertentu, seperti intelijen atau tugas-tugas khusus yang menuntut dedikasi penuh. Mereka mungkin tidak memiliki waktu untuk mengurus kehidupan pribadi atau keluarga karena pengabdian mereka dalam tugas tersebut.

“Al-ghorimin” adalah mereka yang mengurus sistem jaminan sosial dan kesehatan dalam masyarakat. Berbeda dengan hutang pribadi, ghorimin dalam Al-Qur’an 9:60 merujuk pada pengelola hutang masyarakat yang digunakan untuk jaminan sosial, asuransi, dan layanan kesehatan. Islam melarang individu untuk berhutang demi memenuhi kebutuhan pribadi, kecuali dalam keadaan darurat, karena hutang dapat menurunkan martabat seseorang dan menjadikannya terbelenggu.

Sumber dana shodaqoh juga dialokasikan untuk “sabilillah”, yaitu segala kebutuhan yang timbul dalam perjuangan di jalan Allah. Terakhir, dana tersebut diperuntukkan bagi siapa pun yang berada dalam tugas tersebut.

Dengan demikian, alokasi dana shodaqoh dalam Islam bertujuan untuk menopang dan memelihara kesejahteraan sosial, memperkuat komunitas umat beriman, dan memastikan bahwa tidak ada satu pun golongan yang tertinggal. Shodaqoh, zakat, dan ghonimah semuanya dirancang untuk menciptakan keadilan sosial yang seimbang, di mana kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja, melainkan digunakan untuk kemaslahatan bersama.

Penjelasan ini memperlihatkan bagaimana ghonimah dalam Islam bukan hanya soal rampasan perang, tetapi lebih terkait dengan pengelolaan kekayaan yang berkeadilan, dan bagaimana sistem shodaqoh dirancang untuk mendukung keberlanjutan sosial serta kesejahteraan umat.(husni fahro)

 

Example 120x600