ppmindonesia.com, Jakarta-Ayat Al-Qur’an surah An-Nisa (4:114) menyatakan bahwa “Tidak ada kebaikan dalam banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” Dari ayat ini, kita mendapatkan pemahaman mengenai pentingnya sistem pemerintahan yang berbasis pada anggaran yang bersumber dari sedekah (amaro bi shodaqotin), dengan alokasi sebesar 20% dari total pendapatan masyarakat. Anggaran ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan dana bagi delapan sektor utama yang mendukung kebangkitan peradaban umat manusia.
Selain itu, melalui ayat tersebut, kita juga mendapatkan petunjuk tentang prinsip “amaro bi ma’rufin” dalam pemerintahan, yaitu pemerintahan yang tidak memberikan toleransi terhadap segala bentuk tindakan yang melanggar hukum atau tidak konstitusional (ma’rufin). Istilah “ma’ruf” dalam konteks ini merujuk pada segala peraturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi, sesuai dengan makna dasarnya, yaitu sesuatu yang sudah dikenal dan diumumkan secara resmi. Dengan kata lain, segala bentuk peraturan yang tidak diakui dalam konstitusi (munkar) tidak dapat diterima.
Pemerintahan yang tegak dengan prinsip amaro bi ma’rufin inilah yang dapat menjadi kunci suksesnya upaya “amaro bi ishlahin bainan naas”, yakni menciptakan perdamaian dan kesejahteraan di antara manusia. Ayat ini juga menekankan bahwa pemerintahan yang bertujuan untuk memperbaiki kecerdasan dan martabat umat manusia (ishlahin bainan naas) sangat bergantung pada ketersediaan anggaran yang memadai serta penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang kuat.
Terkait dengan anggaran yang besar, ayat ini juga memberikan jawaban mengapa sedekah harus dikembangkan atau diribakan (Yurbis shodaqaat). Hal ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan dana sedekah harus dilakukan secara efektif dan efisien agar berkembang sebelum dialokasikan. Dengan demikian, pembangunan peradaban manusia yang berbasis pada anggaran dari sumber sedekah menuntut pengembangan dana tersebut agar tidak harus bergantung pada utang. Sebab, bangsa atau masyarakat yang terbelenggu oleh utang akan kehilangan wibawa moralnya.
Dalam kondisi demikian, suatu bangsa tidak akan mampu memegang peran sebagai “ummatan wasathan”, yakni bangsa yang menjadi wasit dalam percaturan antar bangsa dan komunitas. Umumnya, orang menyadari bahwa wibawa moral suatu bangsa akan runtuh ketika mereka terbelenggu oleh tekanan utang.
Program “ishlahin bainan naas” yang dijelaskan dalam Qur’an surah An-Nisa (4:114) memiliki jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan yang disebutkan dalam Qur’an surah Al-Hujurat (49:10), “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” Perbedaan cakupan antara kedua ayat ini bukan berarti ada kontradiksi, melainkan menggambarkan bahwa perbaikan dan perdamaian antara saudara seiman sebagaimana yang disebutkan dalam surah Al-Hujurat adalah bagian dari tuntutan menjaga harmoni. Harmoni ini digambarkan dalam Qur’an surah Al-Anfal (8:46) sebagai kondisi di mana orang-orang beriman tetap bermartabat dan kuat.
Sementara itu, program dalam Qur’an surah An-Nisa (4:114) merupakan sebuah langkah yang lebih luas untuk meningkatkan peradaban manusia menuju eksistensi yang agung, yaitu khuluqun ‘azhim (karakter yang luhur).