ppmindonesia.com, Jakarta– Surah Al-Hadid (57:16) dalam Al-Qur’an mengingatkan orang beriman untuk tidak melalaikan janji pengabdian mereka. Setiap hari, pernyataan tersebut diulang dalam shalat: “Hanya kepada Engkau aku mengabdi dan hanya kepada Engkau aku memohon pertolongan.” Janji pengabdian ini mencerminkan komitmen untuk melakukan kebaikan dan bertindak sesuai dengan perintah Allah.
Dalam Surah Al-Baqarah (2:284), Allah menekankan bahwa segala sesuatu, baik yang dinyatakan maupun yang disembunyikan, tetap dihitung. Hal ini menyoroti betapa pentingnya untuk merealisasikan janji pengabdian, karena setiap janji yang tidak ditepati menjadi suatu hutang. Dalam konteks ini, setiap individu yang mengabdi kepada Allah diharapkan untuk setia dan taat pada semua aturan yang ditetapkan dalam firman-Nya.
Pengabdian kepada Allah dapat dicontohkan melalui sosok abdi negara yang taat pada seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, makna pengabdian kepada Allah berarti mematuhi semua pedoman yang digariskan dalam agama-Nya, yang dikenal sebagai DINILLAH.
Surah Qaf (50:45) memerintahkan umat untuk memberi peringatan dengan menggunakan Al-Qur’an. Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah mengingatkan orang lain dengan selain Al-Qur’an mencerminkan pelanggaran terhadap janji pengabdian?
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa ada cara lain untuk memberikan peringatan, asalkan tidak secara eksplisit disebutkan. Namun, hakikat pengabdian adalah mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Yang Di-abdi dengan tulus dan tanpa pamrih.
Ketika kepatuhan kepada Allah dilakukan demi imbalan tertentu, hal itu tidak dapat dianggap sebagai pengabdian sejati. Dalam Surah At-Taubah (9:74), Allah mengungkapkan bahwa orang-orang munafik yang berjuang di jalan-Nya hanya melakukan tindakan tersebut karena ingin mendapatkan kekayaan, bukan dari keikhlasan. Pengabdian yang sejati haruslah berakar dari kesadaran bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi.
Sayangnya, banyak praktik ibadah kini cenderung transaksional, di mana umat beragama melakukan ibadah demi pahala, pengampunan dosa, atau harapan akan kekayaan. Terlebih lagi, banyak ustadz dan ulama yang mendorong umat untuk mengejar kekayaan melalui bacaan atau amalan tertentu yang diulang-ulang. Sebaliknya, pengabdian yang murni, sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-Bayyina (98:5), adalah ketika seseorang menempatkan agama hanya untuk Allah, tanpa pengaruh motivasi duniawi. Artinya mengabdi dengan mengkhususkan agama itu untuk Allah. Tidak mengabdi pada selain Allah artinya tidak mengikuti aturan selain aturan yang dari Allah – itulah makna “Mukhlisina lahuddin” yakni mengkhususkan agama hanya pada Allah
Surah Adh-Dhariyat (51:56) menegaskan bahwa manusia dan jin diciptakan untuk mengabdi kepada Allah. Oleh karena itu, seharusnya pengabdian itu dilakukan dengan tulus, tanpa terjebak dalam pengharapan akan imbalan. Pengabdian yang tulus menunjukkan pemahaman bahwa rezeki yang diterima tidaklah menjadi ukuran kebaikan seseorang di sisi Allah.
Pengabdian yang ditujukan semata-mata untuk imbalan berpotensi merusak esensi ibadah, yang seharusnya dilakukan dengan rasa cinta dan ketulusan kepada Allah. Hal ini sejalan dengan ayat dalam Surah Az-Zumar (39:33-34), yang menyatakan bahwa bagi orang-orang bertakwa, Allah akan memberikan apa yang mereka inginkan, menghapuskan segala kejahatan mereka, dan mengaruniakan kebaikan yang lebih besar dari yang pernah mereka lakukan.
Secara keseluruhan, pengabdian yang tulus kepada Allah akan mengantarkan seseorang kepada status taqwa dan kehidupan yang lebih bermakna. Kesadaran akan keindahan hidup yang dicapai melalui pengabdian kepada Allah seharusnya menjadi motivasi utama bagi setiap individu, menempatkan ketulusan dan keikhlasan di atas segala kepentingan duniawi.(husni fahro)