ppmindonesia.com, Jakarta- Al-Qur’an surah Al-A’raf (7:157) memberikan keterangan penting mengenai makna beriman kepada ayat-ayat Allah. Dalam ayat sebelumnya (7:156), Allah menyebutkan tiga syarat yang harus dipenuhi bagi siapa saja yang berharap memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Syarat ketiga adalah keimanan kepada ayat-ayat Allah. Orang yang memenuhi syarat ini memiliki beberapa karakteristik penting:
- Mengikuti Rasul, yaitu Nabi yang ummi, yang telah disebutkan dalam Taurat dan Injil.
- Memerintahkan kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah yang munkar (kejahatan).
- Menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan yang keji.
- Membebaskan manusia dari beban dan belenggu kehidupan.
Orang-orang yang beriman kepada Nabi, menolongnya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya, mereka itulah orang-orang yang berjaya.
Dalam konteks ini, Al-Qur’an 7:157 menekankan salah satu tugas utama kerasulan, yaitu membebaskan manusia dari beban dan belenggu. Syahida, dalam pembahasan ini, mencoba menelusuri makna “belenggu” yang harus dibebaskan dari kehidupan manusia. Istilah “aghlal” (belenggu) muncul dalam enam ayat Al-Qur’an dalam berbagai konteks, tetapi secara umum, ayat-ayat tersebut menggambarkan akibat dari pembangkangan manusia terhadap agama Allah (Dīnillah).
Salah satu bentuk kekafiran mereka adalah sikap heran dan tidak percaya terhadap kebangkitan setelah mati, sebagaimana disebutkan dalam surah Ar-Ra’d (13:5) dan Al-Insan (76:4). Mereka menganggap kehidupan dunia akan berakhir begitu saja tanpa adanya pengadilan akhirat.
Dalam surah Yasin (36:8-9), orang-orang yang dibelenggu itu digambarkan dengan perumpamaan yang lebih mendalam: mereka tidak dapat melihat kebenaran karena tertutup dari segala arah. Selanjutnya, ditegaskan bahwa meskipun mereka diperingatkan, mereka tetap tidak beriman.
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an 7:146, ada orang-orang yang dipalingkan oleh Allah dari ayat-ayat-Nya, karena ketika mereka melihat jalan kesadaran (sabilar rusydi), mereka tidak menempuhnya. Sebaliknya, ketika melihat jalan kesesatan (sabilal ghoyyi), mereka justru mengikuti jalan tersebut. Hal ini terjadi karena mereka tidak percaya pada ayat-ayat Allah.
Keadaan umat yang demikian menjadi bukti bahwa belenggu kekafiran tidak datang secara tiba-tiba. Sebelum mereka terjebak dalam belenggu akhir, mereka telah diberikan kesempatan untuk menerima petunjuk, tetapi mereka menolak dan tidak mempercayainya.
Dalam Al-Qur’an 10:9 disebutkan bahwa Tuhan memberi petunjuk kepada orang-orang beriman berdasarkan iman mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa menerima petunjuk jika mereka sendiri tidak menempuh jalan yang benar (sabilar rusydi) yang telah dihadapkan kepada mereka?
Artinya, Allah tidak menzalimi mereka dengan belenggu kekafiran yang mengurung mereka. Belenggu tersebut adalah konsekuensi dari kesombongan mereka yang tidak beralasan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an 7:146. Mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa dasar yang logis.
Sikap sombong kepada Allah merupakan bentuk kekafiran yang paling berbahaya. Bagaimana mungkin seseorang tidak merasa sombong ketika Allah menawarkan jalan keselamatan, tetapi mereka menolaknya? Sebaiknya, tawaran tersebut disambut dengan penuh keinsafan agar seseorang tidak terjerumus menjadi golongan yang berada di luar perlindungan ayat-ayat Allah.
Dalam pembahasan ini, mengangkat tema tentang “aghlal” (belenggu) sebagai upaya untuk menuntun kesadaran pentingnya pembebasan manusia dari belenggu kesombongan tanpa alasan yang logis (yatakabbaru fil ardh bi ghairil haq).
Akibat dari penolakan mereka terhadap jalan kebenaran, sejumlah manusia akhirnya berada dalam kondisi yang digambarkan dalam surah Al-Baqarah (2:7): Allah menutup hati, pendengaran, dan penglihatan mereka. Penutupan ini bersifat permanen hingga akhirnya mereka akan mendapatkan azab yang pedih (husni fahro)