ppmindonesia.com, Jakarta-Qur’an 30:30, yang menyebutkan perintah untuk menghadapkan diri kepada ad-Din fithratallah, yaitu agama yang diciptakan dan disusun oleh Allah sebagai fitrah bagi manusia. Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan agama ini, yaitu Islam sebagai agama yang ditetapkan Allah.
Ad-Din Fithratallah dan Hakikat Al-Islam
Dalam Qur’an 3:19, dinyatakan bahwa ad-Din yang diterima di sisi Allah adalah al-Islam. Sementara itu, Qur’an 72:14 menjelaskan bahwa inti dari Islam adalah “taharru rasyada” – kesadaran yang merdeka. Ini berarti bahwa al-Islam bukan sekadar kepatuhan lahiriah, tetapi juga kesadaran bebas dan berlandaskan petunjuk yang benar.
Secara etimologis, al-Islam dalam bahasa Arab sering diterjemahkan sebagai “penyerahan diri” atau “berserah”. Namun, jika mengacu pada Qur’an 14:4, setiap rasul Allah diutus dengan menggunakan bahasa kaumnya. Oleh karena itu, sangat mungkin istilah Islam dapat berbeda pengucapannya dalam bahasa lain, tergantung konteks dan kaum yang menerima risalah tersebut.
Ad-Din Bukan Terbatas pada Bahasa Arab
Agama yang diciptakan Allah bukan hanya untuk satu kaum tertentu. Maka, tidak benar jika Islam dipahami hanya dalam konteks bahasa Arab saja. Sesuai dengan Qur’an 14:4, setiap rasul diutus menggunakan bahasa kaumnya agar risalah mudah dipahami. Ini menunjukkan bahwa esensi al-Islam sebagai agama Allah tidak terbatas pada bahasa Arab, melainkan dapat hadir dalam berbagai bahasa sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menerima risalah itu.
Bahkan, dalam Qur’an 72:14, disebutkan bahwa siapa saja yang menyerahkan diri kepada Allah dengan kesadaran penuh (aslama), dialah yang meraih petunjuk yang benar (taharru rasyada). Ini membuka kemungkinan bahwa agama ciptaan Allah dapat dikenali dan dihayati oleh siapa saja, meski tidak disampaikan dengan istilah-istilah dalam bahasa Arab.
Risalah Rasul dan Bahasa Kaumnya
Allah mengutus banyak rasul dengan risalah yang sama, namun disampaikan dalam bahasa yang berbeda sesuai dengan kaumnya. Ini ditegaskan dalam Qur’an 4:163-165, bahwa meskipun isi risalah sama, bahasa yang digunakan bisa berbeda-beda. Misalnya, risalah Nabi Musa atau Nabi Ibrahim tentu disampaikan dalam bahasa kaumnya, bukan bahasa Arab. Maka, esensi Islam sebagai agama Allah tidak terbatas hanya pada sebutan dalam bahasa Arab.
Al-Islam sebagai Agama Universal dan Fitrah Manusia
Pada Qur’an 3:83, disebutkan bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi menyerahkan diri kepada Allah (aslama)—baik dengan kesadaran penuh (thau’an) maupun dengan keterpaksaan (karhan). Ayat ini menegaskan bahwa ad-Din fithratallah berlaku universal, meliputi semua ciptaan.
Lalu, Qur’an 3:85 menegaskan bahwa siapa pun yang mencari agama selain ad-Din yang ditetapkan oleh Allah (Dinillah), maka agamanya tidak akan diterima dan di akhirat kelak mereka akan merugi.
Kesadaran terhadap Ajaran Otentik dari Allah
Dalam Qur’an 3:19, dijelaskan bahwa agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam, yaitu ajaran yang berasal langsung dari Allah. Ini membuka ruang refleksi: Jika ajaran yang benar datang dari Allah, bagaimana dengan ajaran yang bersumber dari tradisi, perkataan manusia, atau riwayat yang tidak otentik?
Selama berabad-abad, umat beragama sering kali dibanjiri dengan ajaran-ajaran yang tidak selalu bersumber langsung dari wahyu Allah. Sebagian besar dari ajaran ini berasal dari riwayat dan tradisi yang disandarkan kepada nama-nama perawi seperti Abu Hurairah atau Anas bin Malik, tanpa disertai validasi kritis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, karena ada banyak ajaran yang dianggap berasal dari Allah, padahal tidak memiliki dasar dari wahyu yang otentik.
Tantangan Masa Depan Umat: Mencapai Kesadaran yang Merdeka
Kesadaran umat Islam kini mulai bergeser ke arah yang lebih kritis dan terbuka. Beberapa tahun terakhir, muncul kesadaran untuk memeriksa ulang banyak hal yang selama ini dianggap sebagai ajaran dari Allah. Ternyata, tidak semua ajaran tersebut benar-benar memiliki dasar dari wahyu yang otentik.
Sebagai contoh, pemerintah Arab Saudi telah melakukan langkah tegas dengan mendeklarasikan penolakan terhadap semua hadis kecuali yang mutawatir. Hal ini menunjukkan perlunya koreksi dan seleksi yang ketat terhadap ajaran-ajaran yang bersumber dari riwayat. Ini adalah bagian dari upaya untuk mengembalikan agama kepada ajaran murni yang datang dari Allah dan mendorong umat untuk mencapai kesadaran yang merdeka (taharru rasyada).
Islam sebagai Dinillah dan Fitrah Manusia
Islam sebagai ad-Din fithratallah adalah agama yang disusun dan diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia. Ajaran ini universal dan tidak terbatas pada satu bahasa atau tradisi tertentu. Dalam konteks ini, penting bagi umat beragama untuk selalu merujuk kepada wahyu Allah sebagai sumber ajaran yang benar, sekaligus menyadari bahwa ajaran yang tidak bersumber dari Allah tidak dapat disebut sebagai Islam.
Kesadaran merdeka (taharru rasyada) menjadi inti dari al-Islam, dan menjadi tantangan bagi umat untuk menyingkirkan ajaran-ajaran yang tidak otentik demi mencapai pemahaman yang murni dan sejati atas agama Allah.(husni fahro)