“Wa hammu bima lam yanalu” Mereka menginginkan apa yang tidak mereka capai. Q.S At Thaubah (9:74)
ppmindonesia.com, Jakarta- Ayat ini menggambarkan sifat buruk orang munafik. Mereka menginginkan hal-hal yang berada di luar jangkauan mereka dan hanya mau berjuang jika ada iming-iming kekayaan atau manfaat duniawi. Ayat tersebut memperlihatkan niat busuk mereka:
“Dan mereka tidak turut berjuang kecuali karena Allah memberi mereka kekayaan.”
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada masa Rasulullah ﷺ, melainkan juga berlanjut setelah beliau wafat. Bahkan saat Rasulullah masih hidup, banyak orang berpura-pura beriman hanya demi memanfaatkan peluang. Apa yang kita lihat dalam QS 9:73-102 adalah peringatan bahwa perilaku kaum munafik akan selalu ada, termasuk di kalangan umat beragama hingga hari ini.
Kemunafikan dalam Konteks Sejarah dan Saat Ini
QS 9:97-98 mengungkap bahwa sebagian orang Arab pada masa Rasulullah memiliki kekafiran dan kemunafikan yang mendalam, serta keterbatasan dalam memahami ajaran Allah. Ayat-ayat ini menyoroti bagaimana hati dan niat mereka busuk – hanya beribadah demi keuntungan dunia.
Praktik ini masih sering ditemukan dalam ceramah-ceramah dan ajaran di berbagai media sosial. Banyak penceramah, dari yang baru mulai hingga yang sudah lama berdakwah, mengarahkan umat untuk beribadah dengan tujuan agar mendapat kekayaan atau kemudahan dalam urusan dunia. Pola ini mirip dengan karakter kaum munafik sebagaimana digambarkan dalam QS 9:73-102: beribadah dengan pamrih, hanya demi keuntungan pribadi.
Nasab dan Kekeliruan dalam Memahami Kerasulan
Sayangnya, praktik keliru ini tidak hanya terbatas pada pamrih dalam beribadah. Fenomena mengaitkan nasab dengan ketokohan agama juga marak. Beberapa individu mengklaim keturunan Rasulullah ﷺ sebagai cara untuk menguatkan posisi mereka dalam urusan agama dan politik.
Namun, QS 3:144 dengan tegas menyatakan:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul.”
Ini berarti bahwa tidak ada ruang untuk membawa-bawa status pribadi Rasulullah ﷺ dalam urusan agama. Kerasulan Muhammad ﷺ hanya terkait dengan penyampaian wahyu, bukan untuk diwarisi melalui garis keturunan. QS 33:40 juga memperkuat hal ini: Beliau adalah penutup para nabi, dan setelahnya tidak ada lagi nasab yang bisa dijadikan alasan untuk klaim keistimewaan dalam agama.
Hal ini menjadi koreksi terhadap praktik-praktik yang berakar pada sekte dan aliran seperti Syi’ah, atau klaim-klaim keutamaan karena keturunan. Dalam Islam, kemuliaan hanya ditentukan oleh ketakwaan dan ilmu pengetahuan, bukan oleh garis keturunan.
Penyalahgunaan Nasab dalam Agama dan Politik
Ada sebagian kelompok yang menjadikan status sebagai cucu Rasulullah ﷺ sebagai alat untuk memperoleh pengaruh dalam masyarakat. Meskipun bagi orang awam ini mungkin berpengaruh, bagi mereka yang menggunakan akal sehat dan memahami risalah kerasulan, hal ini adalah kekeliruan besar.
Banyaknya pengikut dari kelompok seperti ini justru menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat tentang risalah kerasulan. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim seharusnya lebih memahami hakikat ajaran Islam, namun praktik-praktik seperti ini menunjukkan masih banyak orang yang belum benar-benar paham.
Fenomena Dakwah Komersial dan Beribadah dengan Pamrih
Salah satu aspek kemunafikan yang semakin marak adalah ibadah dengan pamrih dan dakwah komersial. Banyak penceramah yang secara eksplisit atau implisit mengajarkan umat untuk beribadah demi mendapatkan balasan materi, seperti kekayaan atau kemudahan hidup. Padahal, manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah tanpa pamrih.
Allah telah berjanji untuk memberi balasan kepada setiap hamba-Nya, namun ibadah kita tidak boleh didasari oleh harapan imbalan duniawi. QS 51:56 menegaskan:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”
Jika ibadah hanya dilakukan karena pamrih, ini mencerminkan perilaku orang munafik yang digambarkan dalam QS 9:74. Mereka hanya mau beribadah karena berharap mendapatkan kekayaan atau keuntungan dunia.
Kembali kepada Ibadah yang Murni dan Tanpa Pamrih
Manusia harus menyadari bahwa ibadah adalah bentuk pengabdian murni kepada Allah. Pamrih dalam beribadah akan merusak niat dan hakikat pengabdian itu sendiri. Biarkan Allah yang memenuhi janji-Nya, dan kita beribadah hanya karena Allah memang memerintahkan demikian.
Poin penting yang harus digarisbawahi adalah:
- Beribadah tanpa pamrih – Karena ibadah adalah pengabdian kepada Allah, bukan transaksi untuk mendapatkan balasan dunia.
- Menjauhi praktik komersialisasi dakwah – Agar ibadah tidak dirusak oleh kepentingan materi.
- Memahami risalah kerasulan dengan benar – Menghindari pengultusan nasab dan klaim-klaim istimewa yang tidak memiliki dasar Qur’an.
Kesimpulan
Beberapa isu penting dalam keberagamaan umat Islam saat ini:
- Pamrih dalam beribadah dan praktik komersial dalam dakwah mencerminkan perilaku kaum munafik.
- Klaim keistimewaan berdasarkan nasab Rasulullah adalah kekeliruan besar yang perlu dikoreksi.
- Kemuliaan dalam Islam hanya ditentukan oleh ketakwaan dan ilmu pengetahuan, bukan oleh keturunan atau klaim tokoh.
Dengan memahami QS 9:73-102 dan QS 3:144, kita diingatkan untuk selalu memurnikan niat ibadah dan berhati-hati terhadap pemahaman yang menyimpang. Ibadah bukanlah alat untuk mencari keuntungan duniawi, melainkan bentuk penghambaan kepada Allah semata.
Mari kita beribadah dengan ikhlas, memurnikan niat, dan melepaskan diri dari kepentingan dunia yang merusak pengabdian kepada Allah. Biarkan Allah yang memberi balasan atas setiap amal perbuatan kita. Ibadah tanpa pamrih adalah bentuk ketaatan sejati yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya. (husni fahro)