Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Telaah Apa yang Diwahyukan Kepadamu

427
×

Telaah Apa yang Diwahyukan Kepadamu

Share this article
Utlu Mā Ūḥiya Ilaika – Telaah Apa yang Diwahyukan Kepadamu (ppm.doc)

Utlu Mā Ūḥiya Ilaika – Telaah Apa yang Diwahyukan Kepadamu

Dalam Surah Al-‘Ankabūt (29:45), Allah memerintahkan: “Utlu mā ūḥiya ilaika minal-kitābi wa aqimiṣ-ṣalāt.”
(“Telaahlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Kitab dan tegakkanlah shalat.”)

ppmindonesia.com, Jakarta– Perintah ini menekankan bahwa penelaahan wahyu Allah harus dilakukan secara mendalam dan penuh penghayatan, bukan sekadar membaca atau menambah informasi. Kata utlu berasal dari talaa, yang berarti melakukan analisis kritis dan kreatif untuk menemukan makna mendalam, berbeda dari sekadar qoro’a (membaca). Telaah ini penting untuk membentuk pandangan hidup yang benar dan konsisten dengan risalah ilahi.

Telaah Wahyu sebagai Fondasi untuk Menegakkan Shalat

Dalam ayat ini, telaah wahyu Allah menjadi syarat penting untuk melaksanakan perintah selanjutnya, yaitu aqimiṣ-ṣalāt (tegakkanlah shalat). Shalat tidak hanya ritual ibadah tetapi sebuah amal yang mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar (tanha ‘anil fahshā’ wal munkar). Peningkatan kecerdasan spiritual dan moral yang diperoleh dari telaah wahyu menjadi landasan kokoh untuk menegakkan shalat dengan benar.

Melalui pemahaman yang mendalam, shalat tidak hanya menjadi rutinitas tetapi sebuah proses yang menghadirkan ketenangan (sakānun), sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah (9:103):

“Sesungguhnya shalatmu (wahai Nabi) adalah ketenangan bagi mereka.”

Selain itu, QS. An-Nūr (24:41) menegaskan bahwa setiap makhluk mengetahui bentuk dan tujuan shalatnya (kullun qad ‘alima ṣalātahu).

Telaah Wahyu sebagai Kunci Kecerdasan dan Kedamaian Sosial

Telaah wahyu juga berperan dalam meningkatkan kecerdasan moral dan spiritual, karena hanya dengan kecerdasanlah seseorang dapat mencegah fahshā’ dan munkar. QS. Ṭāhā (20:14) mempertegas bahwa shalat ditegakkan untuk mengingat Allah (aqimiṣ-ṣalāt li-dzikrī), dan untuk mencapai pemahaman ini, penelaahan wahyu mutlak diperlukan.

Muslim yang menelaah wahyu dengan baik akan memiliki sikap lemah lembut dan bijaksana terhadap siapa pun, termasuk non-Muslim, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Mā’idah (5:5). Istilah asyiddā’ ‘alal-kuffār dalam QS. Al-Fatḥ (48:29) merujuk pada ketegasan terhadap kekafiran, bukan terhadap individu. Dengan demikian, penafsiran yang tepat harus mengikuti wahyu dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kelembutan dan keadilan.

Risalah Kerasulan sebagai Sumber Utama Penilaian Hidup

  1. An-Nisā’ (4:65) menekankan bahwa seseorang tidak beriman hingga ia menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam urusan hidupnya, dan pada era kerasulan Muhammad, risalah itu adalah Al-Qur’an (lihat QS. 36:2-3). Semua Rasul Allah menerima wahyu yang sama esensinya (QS. An-Nisā’ 4:163-165), meskipun dalam bentuk yang berbeda, seperti Taurat untuk Musa atau Injil untuk Isa. Karena itulah Al-Qur’an menegaskan bahwa ia adalah kisah terbaik (ahsanal qashash – QS. 12:3), menjadi pedoman utama dibanding riwayat manusia.

Kesimpulan: Telaah Wahyu untuk Menegakkan Iman dan Amal

Menelaah wahyu Allah (utlu) bukan hanya untuk memperoleh pemahaman teoretis, tetapi untuk menghidupkan ajaran Allah dalam kehidupan nyata. Dengan telaah ini, seseorang dapat menegakkan shalat yang sejati, menghadirkan kedamaian dalam dirinya dan masyarakat, serta mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Penegakan iman dan amal tidak bisa berjalan dengan baik tanpa memahami wahyu dengan seksama. Seperti halnya pesan QS. Al-‘Ankabūt (29:45), telaah wahyu adalah langkah pertama yang harus ditempuh setiap Muslim untuk memperkuat spiritualitas dan amal saleh, karena hanya dengan telaah mendalam, seseorang dapat teguh dalam menjalankan shalat yang benar dan berfungsi sebagai solusi bagi kehidupan social. (husni fahro)

 

Example 120x600