“Demikianlah, Kami selamatkan orang-orang yang beriman. Menjadi kewajiban Kami untuk menyelamatkan mereka.” Al-Anbiyā’ (21:88)
ppmindonesia.com, Jakarta– Ayat ini sering menjadi perbincangan, khususnya ketika terjadi musibah yang menimpa orang-orang yang dianggap beriman. Muncul pertanyaan: Apakah mereka yang menjadi korban musibah dapat dipastikan sebagai orang beriman?
Apakah Manusia Dapat Memastikan Keimanan Orang Lain?
Keimanan sejati seseorang adalah sesuatu yang hanya Allah ketahui. Manusia tidak memiliki kapasitas untuk memastikan siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang sesat, sebagaimana ditegaskan dalam:
- “Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Naḥl: 16:125, QS. An-Najm: 53:30, QS. Al-Qalam: 68:7, QS. Al-Qaṣaṣ: 28:85)
Musibah dan Kewaspadaan Orang Beriman
Musibah dapat menimpa siapa saja, bahkan orang beriman, karena musibah tidak selalu hanya menjadi azab bagi mereka yang zalim. Dalam Al-Anfāl (8:25), Allah memperingatkan:
“Dan peliharalah dirimu dari fitnah (musibah) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim di antara kamu saja.”
Artinya, jika seseorang tidak mengindahkan peringatan Allah dan tidak waspada, mereka bisa menjadi bagian dari musibah tersebut. Ketika itu terjadi, ada kemungkinan mereka termasuk orang zalim atau setidaknya lalai dari kewaspadaan yang diperintahkan oleh Allah.
Apakah Janji Allah untuk Menyelamatkan Orang Beriman Berlaku Selalu?
Allah tidak pernah mengingkari janji, seperti disebutkan dalam QS. Āli-‘Imrān (3:9), QS. Ar-Rūm (30:6), dan QS. Az-Zumar (39:20). Selain itu, Allah juga tidak menzalimi manusia sedikit pun:
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itu sendirilah yang menzalimi dirinya.” (QS. Yūnus: 10:44)
Karena itu, pernyataan dalam QS. Al-Anbiyā’ (21:88) bahwa Allah pasti menyelamatkan orang beriman tetap berlaku dan efektif. Namun, ketika seseorang menjadi korban musibah, penilaian manusia bahwa ia adalah orang beriman tidak bisa dijadikan ukuran pasti. Bisa saja orang tersebut sebenarnya bukan orang beriman, atau hanya terlihat beriman secara lahiriah.
Musibah sebagai Akibat Perbuatan Manusia
Allah memperingatkan dalam QS. Al-Qaṣaṣ (28:47) bahwa musibah sering kali merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri. Ini berarti kewaspadaan adalah bagian penting dari keimanan sejati. Seorang mukmin harus terus hidup dalam kehati-hatian dan kesadaran bahwa musibah bisa menimpa siapa saja.
Kematian dan Kuasa Allah
Allah-lah yang mengatur kematian setiap makhluk. Dalam QS. As-Sajdah (32:11) dan QS. Az-Zumar (39:42), Allah menjelaskan bahwa malaikat maut, yang ditugaskan untuk mencabut nyawa, bekerja sesuai dengan ketentuan Allah:
“Malaikat maut yang ditugaskan kepadamu akan mewafatkanmu.” (yatawaffākum malakul mauti wukkila bikum)
Artinya, kematian seseorang selalu dalam takdir dan kuasa Allah, sekalipun tampaknya disebabkan oleh musibah atau faktor lain.
Kesimpulan
Pernyataan dalam QS. Al-Anbiyā’ (21:88) bahwa Allah akan menyelamatkan orang beriman berlaku sepenuhnya. Namun, tidak ada manusia yang bisa memastikan keimanan orang lain secara pasti. Jika seseorang menjadi korban musibah, itu bisa jadi karena kelalaian atau ketidakpatuhan terhadap peringatan Allah tentang kewaspadaan. Musibah juga bisa menjadi akibat dari perbuatan manusia sendiri.
Pada akhirnya, hanya Allah yang mengetahui dengan pasti siapa yang benar-benar beriman, dan hanya Dia yang menentukan ajal seseorang melalui malaikat maut-Nya. Oleh karena itu, seorang mukmin harus selalu hidup dalam kewaspadaan dan memohon pertolongan Allah, sembari mengingat bahwa Allah tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya.(husni fahro)