Scroll untuk baca artikel
BeritaDaerah

Sejarah dan Identitas Budaya Kabupaten Cianjur

138
×

Sejarah dan Identitas Budaya Kabupaten Cianjur

Share this article
Regent Cianjur dan isterinya naik mobil di depan kediaman mereka pada tahun 1920-an (https://id.wikipedia.org/wik)
Example 468x60

Cianjur adalah wilayah yang kaya dengan sejarah, budaya, dan tradisi. Sejak awal berdirinya pada abad ke-17 hingga masa sekarang, perkembangan Cianjur tidak terlepas dari peran para pemimpin, tokoh agama, dan masyarakatnya. Potensi alam yang melimpah dan keragaman budayanya menjadikan Cianjur sebagai daerah yang memiliki kontribusi besar bagi Jawa Barat, baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun spiritual. Dengan filosofi Ngaos, Mamaos, dan Maenpo, Cianjur terus melestarikan warisan leluhurnya sambil berkembang di era modern

ppmindonesia.com, Jakarta– Cianjur, salah satu wilayah penting di Jawa Barat, memiliki jejak sejarah panjang yang tercatat sejak masa kolonial dan kerajaan. Nama Cianjur pertama kali muncul dalam Dagh Register (Register Harian) Kastil Batavia milik VOC pada 20 Januari 1678, meskipun pada saat itu dieja sebagai “Santoir” dan “Simapack.” Para sejarawan meyakini bahwa istilah tersebut merupakan pelafalan Belanda dari wilayah yang kini dikenal dengan Sungai Cianjur dan Cimapag.

Pembukaan Wilayah oleh Raden Jayasasana

Cikal bakal pemukiman di Cianjur bermula dari tokoh bernama Raden Jayasasana, putra Aria Wangsa Goparana, seorang bangsawan dari Talaga di Majalengka. Jayasasana—yang dikenal juga sebagai keturunan Sunan Talaga—diutus oleh Sultan Sepuh I dari Cirebon pada abad ke-17 untuk membuka wilayah baru di Cikundul (sekarang Cikalongkulon). Pada masa itu, Cirebon merupakan vasal dari Kesultanan Mataram, sehingga Jayasasana juga diberi tugas mempertahankan wilayahnya dari ancaman Banten yang berseteru dengan Mataram.

Keberhasilan Jayasasana menahan serangan dari pasukan Banten membuatnya dianugerahi gelar Panglima Wira Tanu, sehingga ia dikenal luas sebagai Raden Aria Wira Tanu I. Dalam perkembangannya, Cikundul yang semula merupakan sub-nagari berubah menjadi ibu nagari (pusat pemerintahan) bagi rakyatnya. Di sisi lain, ayahnya, Aria Wangsa Goparana, mendirikan Nagari Sagara Herang (berarti “Lautan Jernih”) di Subang dan aktif menyebarkan ajaran Islam ke wilayah sekitar.

Pemindahan Pusat Pemerintahan dan Lahirnya Cianjur

Setelah wafatnya Raden Aria Wira Tanu I, tampuk pemerintahan dilanjutkan oleh putranya, Wira Tanu II, yang kemudian memindahkan pusat nagari ke Pamoyanan. Sekitar tahun 1680, daerah tersebut mulai disebut “Cianjur,” yang diambil dari nama Sungai Ci Anjur yang membelah wilayah itu. Sejak saat itu, Cianjur terus berkembang sebagai pusat pemukiman dengan tanah yang subur dan potensi pertanian yang melimpah.

Letak Geografis dan Potensi Alam Cianjur

Kabupaten Cianjur memiliki wilayah geografis yang luas, membentang dari utara hingga selatan dengan berbagai potensi sumber daya alam. Di utara, terdapat lahan subur untuk perkebunan teh, sayuran, dan tanaman hias. Sementara itu, di wilayah tengah, masyarakat mengembangkan pertanian padi, kelapa, dan berbagai buah-buahan. Di wilayah selatan, tanaman palawija, karet, teh, aren, serta kelapa tumbuh dengan baik, berkat iklim tropis yang menguntungkan. Secara administratif, Cianjur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Purwakarta di utara, Kabupaten Sukabumi di barat, Bandung Barat di timur, dan Samudra Hindia di selatan.

Perjalanan Pemerintahan dan Warisan Sejarah

Sejak pendiriannya, Cianjur dipimpin oleh para Dalem atau Bupati yang bergelar Wira Tanu, dimulai dari Raden Aria Wira Tanu I (1677-1691). Kepemimpinan tersebut berlanjut hingga R.A. Wira Tanu VI yang memerintah sampai tahun 1813. Hingga kini, tercatat sudah ada 37 bupati yang memimpin Cianjur, dan peran para pemimpin ini sangat berpengaruh dalam membangun infrastruktur, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat Cianjur.

Ngaos, Mamaos, dan Maenpo: Identitas Filosofis Cianjur

Cianjur juga dikenal dengan tiga konsep utama yang membentuk identitas masyarakatnya, yakni Ngaos, Mamaos, dan Maenpo.

  1. Ngaos
    Ngaos merujuk pada tradisi mengaji atau mempelajari ilmu agama, yang menjadikan Cianjur terkenal sebagai kota santri. Kehidupan religius ini telah ada sejak masa awal berdirinya Cianjur, di mana ulama dan santri berperan aktif dalam menyebarkan syiar Islam di wilayah tersebut.
  2. Mamaos
    Mamaos merupakan seni tembang Sunda yang mencerminkan kehalusan budi dan rasa. Tembang Cianjuran, salah satu bentuk seni mamaos, diciptakan oleh Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) pada masa pemerintahannya (1834-1862). Seni ini menggunakan alat musik kecapi indung (besar), kecapi rincik (kecil), dan suling, yang mengiringi tembang penuh pujian kepada Tuhan dan keindahan ciptaan-Nya.
  3. Maenpo
    Maenpo adalah seni bela diri khas Cianjur yang menggabungkan kekuatan fisik dan kepekaan rasa. R.H. Ibrahim, atau R. Djadjaperbata, dikenal sebagai pencipta aliran bela diri ini. Maenpo menekankan teknik liliwatan (penghindaran) dan peupeuhan (pukulan), yang menggambarkan sikap defensif sekaligus keterampilan membaca gerak lawan melalui sentuhan.

Filosofi Ngaos, Mamaos, dan Maenpo menggambarkan keseimbangan antara kehidupan spiritual, seni budaya, dan ketangguhan fisik. Nilai-nilai ini mengakar kuat dalam masyarakat dan mencerminkan cita-cita membangun keimanan, ketakwaan, dan akhlak yang mulia. (mhasan)

Referensi:

  • https://id.wikipedia.org/wik
  • https:/nasional.okezone.com
  • https://manjur.bpscianjur.com/
Example 120x600