Scroll untuk baca artikel
BeritaDaerah

Banten: Jejak Sejarah Kerajaan Islam, Pusat Perdagangan, dan Warisan Budaya Nusantara

462
×

Banten: Jejak Sejarah Kerajaan Islam, Pusat Perdagangan, dan Warisan Budaya Nusantara

Share this article

ppmindonesia.com, Jakarta -Provinsi Banten yang kini terletak di bagian barat Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jejak sejarah yang panjang dan penuh dengan peristiwa penting dalam perjalanan nusantara. Sebagai daerah yang dahulu dikenal sebagai Bantam oleh bangsa Barat, Banten pernah menjadi kota pelabuhan yang ramai, makmur, dan menjadi pusat pertukaran budaya serta agama. Perkembangan Islam yang pesat, kejayaan perdagangan rempah, hingga pertarungan kekuasaan antara bangsa Eropa di wilayah ini turut memberi warna pada perjalanan sejarah Banten.

Awal Mula dan Pengaruh Kerajaan Hindu-Buddha

Jejak sejarah Banten bermula pada abad ke-5 Masehi ketika wilayah ini menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan Hindu tertua di nusantara. Peninggalan dari masa itu, seperti Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Lebak, ditemukan di tepi Sungai Ci Danghiyang di Kampung Lebak, Pandeglang. Prasasti yang berisi pujian terhadap Raja Purnawarman ini menjadi bukti bahwa wilayah Banten sudah dikenal sejak masa awal kerajaan Hindu di Jawa.

Setelah runtuhnya Tarumanagara, kekuasaan di wilayah barat Pulau Jawa diteruskan oleh Kerajaan Sunda, yang tetap mempertahankan pengaruhnya di Banten. Pada masa itu, pelabuhan-pelabuhan di Banten, seperti yang disebut oleh penjelajah Portugis Tome Pires pada tahun 1513, sudah menjadi jalur perdagangan penting dan ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru.

Berdirinya Kesultanan Banten

Kesultanan Banten berdiri pada tahun 1527 ketika Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati, menaklukkan wilayah Banten Girang yang saat itu dikuasai oleh Pucuk Umun, penguasa terakhir dari Kerajaan Sunda di wilayah ini. Pendiri Kesultanan Banten ini menjadikan Islam sebagai agama utama, dan seiring dengan kemajuan dakwah, Banten berubah menjadi pusat kerajaan Islam yang independen.

Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di abad ke-17. Pada periode ini, Banten menjadi salah satu pusat perdagangan rempah-rempah terbesar di Asia Tenggara, terutama karena letaknya yang strategis di Selat Sunda. Posisi ini menjadi semakin penting setelah Portugis menguasai Selat Malaka. Pelabuhan Banten, yang disebut-sebut setara dengan Malaka dan Makassar, menarik pedagang dari seluruh Asia dan Eropa, termasuk Belanda, Inggris, Portugis, Prancis, dan Denmark.

Konflik dengan Bangsa Eropa dan Kemunduran Kesultanan

Kedatangan bangsa Eropa di Banten menjadi awal dari persaingan dagang yang keras. Portugis, Belanda, Inggris, dan bangsa lainnya berlomba-lomba mendapatkan hak monopoli atas perdagangan rempah-rempah yang sangat bernilai. Pada akhirnya, Belanda muncul sebagai penguasa dominan setelah berhasil mengalahkan Portugis dan mengusir Inggris dari Banten pada akhir abad ke-17.

Namun, kemunduran Kesultanan Banten terjadi setelah Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa, meminta bantuan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda untuk merebut kekuasaan dari ayahnya. Perang saudara antara Sultan Haji dan Sultan Ageng ini memberi jalan bagi VOC untuk mengendalikan Banten. Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan sejak itu VOC memiliki kendali penuh atas Kesultanan Banten.

Pengaruh dan Warisan Budaya Islam

Selain sebagai pusat perdagangan, Banten juga berkembang menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat dan sekitarnya. Maulana Hasanuddin dan putranya Maulana Yusuf, penerus Kesultanan Banten, secara aktif menyebarkan ajaran Islam. Perubahan besar ini juga membawa pengaruh dalam aspek budaya, termasuk dalam arsitektur bangunan. Contoh paling menonjol adalah Masjid Agung Banten, yang masih berdiri hingga sekarang dan menjadi simbol warisan budaya dan agama di Banten.

Masjid Agung Banten yang dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanuddin, memiliki desain arsitektur unik dengan perpaduan gaya lokal dan pengaruh dari budaya luar, seperti China dan Eropa. Selain Masjid Agung, kompleks Istana Surosowan dan benteng-benteng pertahanan yang dibangun pada masa kejayaan Kesultanan Banten juga menjadi bukti kemajuan dan pengaruh Islam dalam tata kota dan pemerintahan di masa itu.

Banten dalam Pemerintahan Kolonial

Pada tahun 1926, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan desentralisasi yang membuat Banten menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini berstatus sebagai keresidenan di bawah pengawasan langsung pemerintah kolonial, dan sejak itu kekuasaan Kesultanan Banten semakin tergusur. Dampak dari kolonialisasi ini juga mengubah wajah Banten menjadi wilayah yang kental dengan pengaruh administrasi kolonial.

Banten sebagai Provinsi Mandiri

Seiring waktu, tuntutan akan otonomi daerah semakin kuat, dan akhirnya Banten memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat pada 4 Oktober 2000. Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000, Banten resmi menjadi provinsi ke-30 di Indonesia, dengan Serang sebagai ibu kota. Pemekaran ini memberi Banten kesempatan untuk mengembangkan potensi wilayahnya secara mandiri, baik dalam sektor ekonomi, budaya, maupun pariwisata.

Warisan Budaya dan Identitas Banten

Warisan budaya Banten tidak hanya terbatas pada peninggalan fisik seperti masjid dan benteng, tetapi juga tradisi dan cerita rakyat yang berkembang hingga kini. Beberapa kisah asal-usul nama Banten yang berasal dari istilah “katiban inten” (kejatuhan intan) atau “ban inten” (cincin berintan) menggambarkan bagaimana masyarakat Banten menghargai sejarah dan tradisi mereka.

Madjid Agung Banten tempo dulu (https://id.wikipedia.org)

Selain itu, komunitas seperti Suku Badui di Banten Selatan menjadi salah satu bentuk keberagaman budaya di Banten yang tetap lestari. Meskipun mereka hidup di wilayah yang secara historis di bawah Kesultanan Banten, Suku Badui mempertahankan tradisi leluhur yang berbeda dengan masyarakat Banten lainnya, yang menunjukkan keragaman budaya yang kaya di wilayah ini.

Penutup

Sejarah panjang Banten sebagai kerajaan Islam, pusat perdagangan, dan pelabuhan besar di Asia Tenggara membentuk identitasnya sebagai wilayah yang kaya akan warisan budaya dan agama. Dengan statusnya sebagai provinsi, Banten kini terus menggali potensi sejarah dan kebudayaannya sebagai salah satu aset wisata dan pendidikan sejarah Indonesia. Warisan Banten, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, tetap menjadi bagian penting dari sejarah nusantara yang mewarnai keberagaman budaya bangsa. (asyary)

Example 120x600