ppmindonesia.com, Jakarta– Istilah “huda” atau “hudan” yang berarti petunjuk sangat populer di kalangan umat Islam. Namun, istilah “shirath,” yang merujuk pada jalan yang lurus, tampaknya kurang dikenal. Shirath sering kali kalah pamor dengan “shirathal mustaqim” yang bagi sebagian orang digambarkan sebagai “jembatan menuju surga” – digambarkan tajam seperti silet dan kecil seperti rambut yang dibelah tujuh. Meski mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan betapa sulitnya jalan menuju surga, penafsiran ini berisiko menimbulkan pemahaman yang keliru, sehingga orang bisa merasa enggan karena analoginya tampak tidak masuk akal.
Sebenarnya, Al-Qur’an sendiri sudah menjelaskan makna shirathal mustaqim dengan gamblang, seperti dalam QS. Al-An’am [6:153] dan Az-Zukhruf [43:43]. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk mengikuti shirathal mustaqim, jalan lurus yang telah Dia tetapkan, dan melarang kita mengikuti jalan-jalan lain. QS. Az-Zukhruf [43:43] bahkan menegaskan bahwa siapa pun yang mengikuti petunjuk ini, berada di atas shirathal mustaqim. Jadi, bukankah seharusnya kita menjelaskan shirathal mustaqim sesuai dengan Al-Qur’an itu sendiri? Ini bukan hanya akan memberikan pemahaman yang lebih benar, tetapi juga lebih valid, karena didasarkan langsung pada sumber yang paling otoritatif.
Pendekatan ini disebut tafsirul Qur’an bil ayatil Qur’an, yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Metodologi ini menghindarkan kita dari masuknya subjektivitas dalam menafsirkan ayat-ayat Allah dan memudahkan pemahaman kita, karena Al-Qur’an sudah menyediakan keterangan untuk menjelaskan setiap istilah di dalamnya. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya berperan sebagai petunjuk (hudan) tetapi juga sebagai keterangan yang memperjelas petunjuk itu sendiri (bayyinatin minal huda).
Mengacu pada pendekatan ini, istilah “shirath” seharusnya lebih tepat diartikan sebagai “tuntutan” atau “tuntunan” yang mengarahkan kita pada jalan yang benar. Sayangnya, banyak penerjemah Al-Qur’an masih mengartikan “shirath” sebagai “jalan,” yang bisa mengaburkan makna mendalam yang tersirat di dalamnya. Hal utama di sini bukan soal benar atau salah dalam penerjemahan, melainkan soal memilih kata yang relevan dan membangun kesadaran akan kebersamaan kita dengan Allah. Kekayaan istilah dalam Al-Qur’an memiliki maksud yang sangat mendalam, dan sepatutnya tidak kita abaikan.
Ketika kita menyadari bahwa kita hidup dalam tuntunan Allah yang membimbing setiap langkah kita dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan, hati kita akan dipenuhi dengan ketundukan dan keikhlasan yang mendalam. Khususnya dalam konteks istilah “mustaqim,” yang dalam tafsir Syahida diartikan sebagai “mengukuhkan.” Kata “mustaqim” sendiri berasal dari akar kata “qawama,” yang berarti “berdiri tegak.” Dengan demikian, perpaduan antara shirath dengan mustaqim menjadi “shirathal mustaqim,” yang berarti tuntutan Allah yang mengukuhkan atau menguatkan. Tuntunan ini dapat mengangkat manusia dari keraguan, memberikan ketenangan, dan menjauhkan kita dari berbagai gangguan.
Melalui tuntutan yang mengukuhkan ini, seorang mukmin yang telah menyatakan bahwa Allah adalah Tuhannya memiliki kesempatan besar untuk hidup sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Fussilat [41:30-35]. Dalam ayat-ayat ini, Allah menjanjikan kebahagiaan bagi mereka yang istiqamah, yang tak goyah dan tak ragu, serta tetap setia pada tuntunan yang lurus dan menguatkan (shirathal mustaqim). Keistiqamahan dalam mengabdi kepada Allah membawa mereka pada kedamaian dan kebahagiaan, serta perlindungan dari rasa takut maupun duka.
- Fussilat [41:30-35] mengandung janji indah dari Allah untuk mereka yang mampu menapaki shirathal mustaqim dengan teguh. Mereka akan menerima balasan yang penuh keberkahan sebagai hasil dari pengabdian yang istiqamah dan tak tergoyahkan, karena mereka setia dengan tuntunan yang Allah berikan, yang bukan hanya sekadar jalan, tetapi tuntutan yang mengukuhkan mereka dalam iman dan ketakwaan.
Semoga kita termasuk dalam golongan yang mampu mengikuti shirathal mustaqim, tuntunan yang Allah tetapkan untuk memperkuat dan mengokohkan iman kita dalam meniti jalan kehidupan. (husni fahro)