Oleh : Cak AT – Ahmadie Thaha – Alumni FU IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat –Ma’had Tadabbur al-Qur’an
ppmindonesia.com, Jakarta Kasus bunuh diri akibat judi online kembali terjadi, kali ini menimpa seorang pria paruh baya di Adipala, Cilacap. Pria tersebut terjerat utang judi online hingga putus asa dan mengakhiri hidupnya, meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarganya.
Fenomena ini bukanlah kasus tunggal; kematian akibat jeratan utang judi online terus berulang, mengisyaratkan keprihatinan yang mendalam bagi negeri mayoritas muslim yang kaya akan lembaga keagamaan dan tokoh-tokoh Islam. Pertanyaannya: mengapa semua itu belum mampu menekan kemiskinan dan memperbaiki moral masyarakat?
Ironisnya, di tengah meroketnya transaksi judi online yang mencapai ratusan triliun rupiah, penegakan hukum justru terkesan lemah. Data para pelaku, rekening terlibat, dan bahkan aliran dana telah diketahui oleh lembaga terkait, termasuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, alih-alih tindakan tegas, muncul laporan bahwa sejumlah oknum keamanan justru mengambil keuntungan dengan meminta uang sebagai “tarif damai” kepada pemain judi online, sementara para bandar besar tetap tidak tersentuh hukum.
Perputaran uang judi online yang sebelumnya terbatas kini bisa diakses dengan modal kecil, membuat masyarakat kelas bawah hingga anak-anak mudah terjerumus. Dalam pertemuan DPR, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana memaparkan peningkatan signifikan dalam transaksi judi online: dari Rp 57,91 triliun pada 2021 hingga Rp 327,05 triliun pada 2023. Hingga pertengahan 2024, transaksi ini telah mencapai Rp 174,56 triliun.
Melihat fakta tersebut, publik bertanya-tanya mengapa tindakan konkret, seperti pemblokiran rekening atau pemanggilan bandar, begitu sulit direalisasikan. Ide sederhana seperti menghentikan akses top-up agar judi online terhenti pun tampaknya belum diterapkan. Sebaliknya, masyarakat kecil yang justru tertekan oleh jeratan utang dan “restorative justice” yang diterapkan oknum aparat, sementara bandar besar tetap aman dan nyaman.
Ironisnya, judi online yang dulu dianggap ancaman moral kini seolah menjadi “sumber pendapatan” menarik bagi segelintir pihak yang mengambil keuntungan dari lemahnya penegakan hukum. Dengan data PPATK yang begitu lengkap, masyarakat mempertanyakan apakah benar tindakan tegas sulit direalisasikan, ataukah ada pihak yang membiarkan masalah ini berlarut-larut demi kepentingan pribadi. Di negeri yang gemah ripah ini, kebenaran seolah tenggelam di bawah bayang-bayang perdamaian bayaran, sementara keadilan dan hukum berada di ujung tanduk. (Ahmadie Thaha)