ppmindonesia.com, Jakarta-Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah mengarahkan Rasulullah SAW untuk menjelaskan bahwa beliau tidak memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Salah satunya terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 50, di mana Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyatakan empat hal:
- Rasulullah tidak memiliki perbendaharaan Allah.
- Rasulullah tidak mengetahui yang ghaib.
- Rasulullah tidak mengaku sebagai malaikat.
- Rasulullah hanya mengikuti wahyu yang diturunkan kepadanya.
Poin kedua, yakni bahwa Rasulullah tidak mengetahui yang ghaib, menegaskan keterbatasan manusia, bahkan para nabi, dalam memahami hal-hal ghaib yang sepenuhnya merupakan milik Allah. Selain itu, dalam Al-A’raf ayat 188, Rasulullah juga diperintahkan untuk mempertegas hal ini dengan mengatakan bahwa beliau tidak memiliki kekuatan untuk memperoleh manfaat atau menghindari mudharat bagi dirinya sendiri, kecuali atas izin Allah. Rasulullah juga menegaskan bahwa jika beliau mengetahui yang ghaib, maka pastilah beliau dapat melakukan lebih banyak kebaikan dan menghindarkan diri dari keburukan.
Jadi, ayat-ayat ini dengan jelas mendalilkan bahwa Rasulullah tidak mengetahui perkara ghaib secara independen. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa pengetahuan tentang yang ghaib sepenuhnya merupakan milik Allah. Dalam QS. 6:59 dan QS. 6:73, dijelaskan bahwa seluruh perkara ghaib berada dalam ilmu Allah, dan alat untuk mengungkap hal ghaib pun ada pada-Nya (QS. 10:20). Allah-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu, dan Rasulullah sendiri tidak memiliki akses langsung terhadap ilmu ghaib kecuali apa yang diwahyukan oleh Allah.
Mengapa Rasulullah Dapat Beriman dengan Hal yang Ghaib?
Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana mungkin Rasulullah beriman kepada sesuatu yang tidak beliau ketahui, jika sebagian besar umat memahami iman sebagai “beriman kepada yang ghaib.” Pemahaman ini sering kali bersumber dari Al-Baqarah ayat 3, yang berbunyi:
“Orang-orang yang beriman dengan ghaib…”
Namun, jika kita merenungkan lebih dalam, “beriman dengan ghaib” tidak berarti percaya kepada sesuatu yang tidak kita ketahui, melainkan menggunakan keyakinan sebagai sebuah strategi dalam menjalani kepatuhan dan ketaatan kepada Allah. Dalam hal ini, beriman dengan ghaib adalah cara untuk beriman secara total tanpa harus mengetahui segala sesuatu. Artinya, kita menyadari keterbatasan kita sebagai manusia dan percaya sepenuhnya kepada pengetahuan Allah yang Maha Luas, yang menguasai segala sesuatu, baik yang nyata maupun yang ghaib.
Jika pemahaman kita bahwa beriman dengan ghaib berarti beriman kepada hal-hal yang tidak kita ketahui, maka konsep ini akan sulit diterima. Karena itu, lebih tepat memaknai ayat ini sebagai sebuah prinsip untuk beriman dengan menggunakan ketaatan total dalam menjalani hidup berdasarkan petunjuk yang telah Allah berikan, meski kita mungkin tidak mengetahui segala rahasia di baliknya.
Allah Bukanlah yang Ghaib
Kesalahpahaman sering terjadi ketika kita menganggap bahwa Allah itu ghaib, dan ini berpotensi membuat kita salah paham mengenai keberadaan Allah. Dalam surat Al-Hadid ayat 3, Allah berfirman bahwa Dia adalah yang Zahir (terlihat jelas keberadaan-Nya), sekaligus Batin (yang Maha Tersembunyi). Allah tidak ghaib dalam pengertian yang menghalangi kita dari mengenal-Nya, karena kehadiran dan sifat-sifat Allah justru sangat nyata melalui tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh alam semesta.
Allah adalah Zahir, artinya keberadaan-Nya terlihat melalui ciptaan-Nya yang nyata, sementara sifat ghaib adalah untuk perkara-perkara yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh manusia tanpa petunjuk dari Allah. Maka, sebagai manusia dan hamba Allah, kita diundang untuk beriman dengan menggunakan pengetahuan dan petunjuk yang telah Allah turunkan kepada kita, termasuk Al-Qur’an, yang memberi kita panduan hidup yang jelas meski ada banyak hal ghaib yang tidak kita pahami sepenuhnya.
Menggunakan Strategi Beriman dengan Ghaib
Menerapkan konsep beriman dengan ghaib sebenarnya mengajak kita untuk mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya berdasarkan apa yang telah diwahyukan, dengan penuh kesadaran bahwa ada hikmah dalam setiap aturan-Nya, meskipun tidak selalu terlihat oleh kita. Allah mengajarkan dalam QS. 17:29 tentang pentingnya strategi dalam menjalani suatu program hidup, yang menunjukkan bahwa keyakinan bukanlah soal membayangkan sesuatu yang tak kita ketahui, tetapi mengatur hidup dengan kehati-hatian dan kesadaran atas keterbatasan kita, serta kepercayaan penuh kepada Allah.
Kesimpulan
Beriman dengan ghaib bukan berarti kita harus mempercayai hal-hal yang sama sekali tidak kita ketahui atau pahami, melainkan menggunakan petunjuk yang telah Allah berikan sebagai strategi untuk menjalani hidup. Ini adalah bentuk kesadaran dan ketaatan kita terhadap apa yang Allah perintahkan, dengan menyadari bahwa pengetahuan ghaib sepenuhnya milik Allah dan segala rahasia ada di tangan-Nya. Melalui petunjuk ini, kita membangun iman yang kokoh dan menjalani hidup dengan panduan yang pasti, tanpa harus mengetahui segalanya.
Dengan memahami konsep ini, kita semakin menghargai hikmah di balik ajaran Islam yang mengarahkan kita untuk hidup dalam keseimbangan antara pengetahuan, ketaatan, dan kesadaran penuh akan kebesaran Allah yang tidak terbatas.(husni fahro)