Oleh; Syaefudin Simon – Kolumnis
ppmindonesia.com, Jakarta– Pendidikan agama seringkali dianggap sebagai inti dari pembentukan karakter dan akhlak seseorang. Namun, di berbagai lembaga pendidikan, baik pesantren maupun sekolah umum, ternyata porsi pendidikan agama dalam arti mendalam justru sangat minim.
Di pondok pesantren, pendidikan agama mungkin hanya mencapai sekitar 0,05 persen dari keseluruhan kurikulum. Sementara di sekolah umum, angka ini bahkan lebih kecil, mungkin sekitar 0,005 persen. Selebihnya, yang diajarkan lebih banyak terkait budaya, adat lokal, dan formalitas.
Realita ini membawa kita pada fenomena yang ironis. Kita sering mendengar kasus ustadz yang keliru dalam mengajarkan ajaran Islam, kiai yang tersandung masalah moral, guru ngaji yang tidak menjaga etika, hingga guru dan dosen yang memperkaya diri atau berperilaku tidak pantas terhadap peserta didik.
Apa yang menjadi penyebabnya? Salah satu alasan utamanya adalah bahwa mereka sebenarnya tidak pernah benar-benar belajar dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu, apakah mereka tidak belajar fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya? Memang benar, sebagian besar siswa dan mahasiswa Muslim mempelajari fikih, yang mencakup berbagai aturan dan hukum, seperti tentang puasa, pernikahan (munakahat), bersuci (taharah), hukum waris, politik Islam (siyasah), dan teologi (ilmu kalam).
Namun, jika dicermati lebih dalam, fikih sendiri lebih banyak berisi aturan-aturan budaya, tata cara, dan sistem yang cenderung teknis. Pelajaran ini, meskipun penting, tidak cukup untuk membangun jiwa spiritual yang kokoh jika tidak disertai pemahaman akan makna di balik setiap ajaran.
Hal inilah yang membuat kita sering menemukan umat Islam, bahkan di kawasan yang kental dengan identitas keislaman seperti Timur Tengah, masih terjebak dalam perilaku arogan, materialistis, mudah tersinggung, suka bertengkar, hingga merasa paling benar sendiri.
Kurangnya pendalaman agama dalam bentuk yang hakiki—ilmu yang mengajarkan nilai rendah hati, kasih sayang, dan kebijaksanaan—membuat sebagian besar umat hanya fokus pada formalitas dan aturan, bukan pada nilai-nilai spiritual yang seharusnya menjadi inti dari ajaran agama.
Belajar Agama yang Sesungguhnya
Jadi, apa yang dimaksud dengan belajar agama dalam arti yang sesungguhnya? Belajar agama bukan sekadar mempelajari aturan-aturan fikih atau tata cara ibadah, melainkan memahami dan mengamalkan ilmu yang mengajarkan nilai ikhlas, rendah hati, saling menghargai, mencintai alam, serta menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama manusia dan seluruh makhluk. Inilah hakikat ilmu agama yang sering kali terabaikan.
Agama mengajarkan bagaimana bersikap kepada sesama manusia dengan penuh kasih sayang, bagaimana hidup selaras dengan alam, dan bagaimana memberikan dampak positif dalam setiap langkah kehidupan.
Ketika seseorang memahami agama dari sudut pandang ini, ia akan memiliki orientasi hidup yang lebih mulia, jauh dari sekadar aturan dan batasan teknis yang sering kali hanya menjadi formalitas.
Agama yang sejati adalah penanaman nilai dan pembentukan jiwa yang senantiasa terhubung dengan Sang Pencipta melalui sikap dan tindakan. Tanpa pemahaman ini, pendidikan agama mudah terjebak dalam bentuk-bentuk luar yang kaku, kosong dari ruh spiritual yang sejatinya mendasari semua ajaran.
Antara Formalitas dan Hakikat
Hal-hal seperti fikih, aturan budaya, dan adat istiadat sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial yang membantu masyarakat beradaptasi dengan kondisi setempat. Akan tetapi, ketika hal-hal tersebut dianggap sebagai inti dari agama, nilai-nilai hakiki dari agama menjadi terlupakan.
Kita pun kehilangan kemampuan untuk melihat ajaran agama sebagai petunjuk kehidupan yang dapat mengarahkan pada kebahagiaan dan keselamatan.
Oleh karena itu, pendidikan agama yang kita butuhkan adalah pendidikan yang lebih menekankan esensi daripada sekadar aturan teknis. Pendidikan yang bukan hanya mengajarkan tata cara beribadah, tetapi juga mendidik akhlak, mengasah empati, dan membangun kepekaan sosial yang tinggi.
Dengan demikian, generasi yang terlahir dari sistem pendidikan ini akan lebih memiliki pemahaman mendalam tentang apa itu agama, bukan sekadar praktik dan ritual, tetapi sebagai panduan hidup yang penuh makna.
Menuju Pendidikan Agama yang Lebih Bermakna
Memahami hakikat pendidikan agama sebagai paduan antara nilai spiritual dan aturan budaya adalah langkah penting menuju perubahan dalam sistem pendidikan kita. Kita perlu menyadari bahwa agama lebih dari sekadar hukum-hukum fikih, bahwa setiap ibadah dan perintah memiliki makna dan nilai yang perlu digali. Pendidikan agama idealnya mengajarkan anak-anak kita untuk menjadi pribadi yang berakhlak mulia, bukan sekadar patuh pada aturan.
Akhirnya, pendidikan agama yang sejati adalah pendidikan yang menciptakan generasi yang bukan hanya menguasai fikih dan hukum-hukum Islam, tetapi juga memiliki jiwa yang ikhlas, rendah hati, serta penuh kasih sayang. Inilah hakikat pendidikan agama yang sesungguhnya: mengajarkan nilai spiritual yang mendalam, yang dapat membentuk manusia menjadi lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih bermanfaat bagi dunia. (syaefudin simon)