Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ibadah yang Sejati: Antara Ritual dan Kerja Nyata

10
×

Ibadah yang Sejati: Antara Ritual dan Kerja Nyata

Share this article
ilustrasi peduli kepada fakir miskin (ppm.doc)
Example 468x60

Oleh; Syaefudin Simon – Kolumnis

ppmindonesia.com, Jakarta-Ketika kita mendengar istilah abdi, kita mungkin langsung berpikir tentang berbagai bentuk pengabdian. Seorang abdi negara, misalnya, adalah ASN yang bekerja untuk kepentingan negara. Di lingkungan budaya Jawa, kita mengenal abdi dalem yang mengabdi kepada Ngarso Dalem (Raja Jawa). Namun, bagaimana dengan seorang abdillah—seorang yang mengabdi kepada Allah? Bukankah ini berarti seorang hamba Allah seharusnya bekerja untuk Allah dalam segala aspek kehidupannya?

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Az-Zariyat 56). Ayat ini sering dipahami bahwa tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah. Sayangnya, kata “ibadah” dalam ayat ini sering ditafsirkan secara sempit—sebagai ibadah ritual seperti salat, puasa, atau haji. Akibatnya, sebagian besar umat Islam di seluruh dunia lebih mementingkan ibadah ritual semata daripada “kerja” dalam arti luas yang mencakup pengabdian sosial dan lingkungan.

Padahal, konsep kerja memiliki konotasi yang lebih luas daripada sekadar ritual. Seperti yang dikatakan oleh Buya Syakur, “Apakah Tuhan membutuhkan ibadahmu?” Tuhan sudah Maha Besar dan Maha Kuasa tanpa bergantung pada ibadah kita. Ibadah bukanlah untuk memenuhi kebutuhan Tuhan, melainkan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih berdaya guna bagi makhluk di sekitar kita.

Makna Kerja sebagai Bentuk Ibadah

Ketika bekerja untuk negara, menyejahterakan orang miskin, menghijaukan bumi, atau bekerja demi kemanusiaan, itulah sebenarnya yang menjadi makna ibadah dalam konteks ayat Az-Zariyat di atas. Ibadah bukan sekadar salat lima waktu atau menjalankan ritual tertentu. Lebih dari itu, ibadah adalah setiap upaya kita untuk menjalankan kebaikan yang bermanfaat bagi kehidupan. Jika ibadah hanya diartikan sebagai ritual, maka akan ada banyak hamba Allah yang beribadah, tetapi tidak peduli pada kemiskinan, kelaparan, atau lingkungan di sekitar mereka.

Allah menegaskan dalam surah Al-Ma’un (1-7) bahwa orang yang beribadah, tetapi mengabaikan anak yatim dan orang miskin, sebenarnya telah berbohong dengan agamanya. Ibadah mereka tidak memiliki makna. Ayat ini menunjukkan bahwa bekerja untuk mengatasi kemiskinan dan menolong sesama justru lebih berharga daripada sekadar melakukan ritual tanpa penghayatan.

Ibadah yang Hakiki dalam Berbagai Perspektif

Dalam ajaran Tao, terdapat konsep bahwa ibadah bukanlah sesuatu yang jauh atau terpisah dari kehidupan sehari-hari. “Untuk apa kamu beribadah jauh-jauh? Kerjakan saja hal-hal yang baik dan bermanfaat di depan pintu rumahmu. Itu lebih baik daripada beribadah di puncak gunung atau di tengah padang pasir.” Pandangan ini mengajarkan bahwa amal kebaikan yang dilakukan di sekitar kita, dalam kehidupan sehari-hari, lebih bermakna daripada ritual yang dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban.

 

Pendekatan Tao ini, yang menekankan ibadah sebagai tindakan nyata, justru memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sebagian besar tafsir tradisional. Dalam Tao, ibadah tidak hanya sekadar hubungan vertikal dengan Sang Pencipta, tetapi juga terhubung secara horizontal dengan sesama manusia dan seluruh ciptaan. Artinya, ibadah bukan hanya soal ritual, melainkan setiap tindakan yang mendatangkan manfaat dan membawa kebaikan.

Menuju Pemahaman Ibadah yang Lebih Mendalam

Jadi, sudah saatnya kita memahami bahwa ibadah bukanlah sekadar menjalankan ritual, tetapi mengintegrasikan makna ibadah dalam setiap langkah kehidupan kita. Setiap tindakan baik, mulai dari menolong orang lain, melindungi alam, mendukung yang lemah, hingga bekerja dengan integritas, adalah bentuk ibadah yang sejati. Ibadah bukanlah sesuatu yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, melainkan merupakan seluruh perbuatan yang mendatangkan manfaat dan berkah bagi sesama makhluk.

Maka, mari kita renungkan kembali hakikat ibadah kita. Apakah ibadah kita hanya sekadar ritual, atau sudah mencerminkan kerja dan amal nyata yang membawa manfaat bagi orang lain dan alam semesta? Dengan memperluas makna ibadah sebagai bentuk pengabdian dan manfaat bagi sesama, kita dapat menjadi hamba Allah yang bukan hanya saleh dalam ibadah, tetapi juga bermanfaat dalam setiap aspek kehidupan. (syaefudin simon)

Example 300250
Example 120x600