Oleh : Ahmadie Thaha – Alumni FU IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat –Ma’had Tadabbur al-Qur’an
ppmindonesia.com,Jakarta-Bayangkan seorang guru honorer bernama Supriyani. Dengan gaji sebesar Rp 300 ribu per bulan, ia menjalani hari-harinya dengan tulus mengajar anak-anak desa. Namun, suatu hari ia harus menghadapi dakwaan kekerasan terhadap muridnya. Kasus ini bermula ketika seorang anak mengalami luka. Saat ditanya oleh ayahnya yang seorang polisi, sang anak menyebut Bu Supriyani sebagai penyebabnya.
Sang ayah, yang geram, langsung menuntut tindakan hukum tanpa ampun. Namun, benarkah tindakan ini sepadan dengan persoalan yang ada? Supriyani bersikeras bahwa ia tidak melakukan kekerasan apa pun. Tetapi jika seorang polisi menolak mempercayai kata-kata seorang guru, kepada siapa lagi masyarakat harus menaruh kepercayaan?
Persoalan ini terus bergulir tanpa ujung. Mediasi gagal, dan Supriyani dituntut membayar kompensasi sebesar Rp 50 juta—angka yang fantastis bagi seorang guru honorer. Karena tuntutan ini tidak dapat dipenuhi, kasus ini pun dibawa ke meja hijau.
Ironisnya, belakangan terungkap bahwa luka tersebut bukan akibat pemukulan, melainkan kecelakaan di sawah. Meski demikian, proses hukum tetap berjalan. Untuk apa? Apakah ini sekadar pertunjukan “penegakan hukum” yang mengabaikan rasa kemanusiaan?
Kisah ini memperlihatkan bagaimana keadilan dan kenyataan kerap terjaring dalam permainan kekuasaan, uang, dan superioritas. Harkat seorang guru—sosok yang seharusnya dihormati—justru diinjak-injak oleh arogansi dan kesombongan.
Lebih mengejutkan lagi, Bupati Konawe Selatan ikut campur dalam kasus ini. Namun, alih-alih membantu menyelesaikan masalah, sang bupati justru mengirimkan somasi kepada Supriyani, membuat situasi semakin tegang. Menurut Pengurus Besar PGRI Sulawesi Tenggara, langkah ini menunjukkan contoh buruk bagi pemerintah daerah—bentuk intimidasi yang tak pantas terhadap guru honorer yang lemah dan nyaris tak berdaya.
Bagaimana dengan reaksi dari dunia pendidikan? Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’tie, pernah berjanji mengangkat Supriyani sebagai guru non-PNS dengan gaji layak. Namun, apakah janji ini cukup? Mampukah satu janji politik menyembuhkan luka fisik dan mental yang dialami seorang guru akibat proses hukum yang panjang dan tekanan sosial dari berbagai sisi?
Seharusnya, kasus ini bisa diselesaikan dengan sederhana. Jika bukti telah menunjukkan bahwa luka sang anak disebabkan oleh kecelakaan, mengapa pengadilan masih berlanjut? Mengapa para pejabat tidak mengutamakan penyelesaian yang adil dan manusiawi?
Di sinilah tersingkap potret buram dunia pendidikan kita. Guru, yang seharusnya dijaga dan dihormati, justru menjadi korban. Seorang guru honorer dengan gaji minim dan beban kerja berat kini harus berjuang menghadapi cobaan yang merusak kehidupannya. Sementara itu, isu yang lebih mendasar seolah luput dari perhatian: keadilan bagi guru honorer, perlindungan hukum yang seharusnya mereka peroleh, dan penghargaan atas dedikasi mereka yang kerap kali diabaikan.
Kasus Supriyani menjadi cermin bagaimana guru honorer sering diperlakukan di masyarakat kita. Mereka yang mengabdikan hidup dengan gaji kecil sering kali menjadi sasaran empuk dari berbagai masalah sosial. Hukum yang seharusnya membela justru terperangkap dalam kekacauan struktural.
Pada akhirnya, kita perlu bertanya: bagaimana nasib bangsa ini jika seorang guru yang dengan tulus mengabdi diperlakukan seperti ini? Ini adalah ironi yang menyedihkan dalam sistem pendidikan kita, yang berbicara tentang pentingnya moral dan akhlak tetapi melupakan nilai-nilai moralitas dalam memperlakukan guru-gurunya.
Refleksi untuk Semua
Kasus Supriyani adalah pengingat keras bagi kita semua—bahwa bangsa ini harus lebih peduli dan menghargai para guru. Guru-guru honorer adalah pilar penting pendidikan bangsa, yang meski diupah rendah, tetap setia mendidik generasi penerus. Perjuangan mereka harus dilihat dan dihargai, bukan dihancurkan oleh kekuasaan yang salah arah.( ahmadie thaha)