Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Ironi Keadilan: Kasus Supriyani dan Drama Hukum yang Membingungkan

309
×

Ironi Keadilan: Kasus Supriyani dan Drama Hukum yang Membingungkan

Share this article

Oleh : Cak AT – Ahmadie Thaha – Alumni FU IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat –Ma’had Tadabbur al-Qur’an,

ppmindonesia.com, Jakarta-Kisah Supriyani, seorang guru honorer yang telah mengabdikan diri selama lebih dari satu dekade, telah berubah menjadi drama hukum yang sarat absurditas dan ironi.

Di hadapan sidang Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, jaksa menuntut Supriyani bebas. Namun, tuntutan ini diliputi ambiguitas. Di satu sisi, jaksa membebaskan Supriyani dari hukuman pidana; di sisi lain, tetap menyatakan bahwa kekerasan telah terjadi meskipun “tanpa niat jahat.”

Tuntutan ini menghadirkan ironi di mana seorang guru yang dianggap teraniaya masih dikenakan tuduhan tanpa konsekuensi pidana, seolah sekadar untuk memenuhi tuntutan berbagai pihak yang berkepentingan.

Di balik tuntutan ini, tampak jelas adanya tarik-menarik antara keadilan dan kepentingan, di mana sosok polisi yang juga orang tua siswa tampak memegang peran penting. Pada saat yang sama,

Kapolri telah memerintahkan investigasi lebih lanjut terhadap polisi yang diduga melakukan pemerasan dengan meminta uang damai senilai Rp50 juta kepada Supriyani. Bahkan, Kapolsek dan Kanit Reskrim Baito dicopot lebih dulu, menandakan bahwa persoalan ini juga menyentuh integritas moral dalam tubuh kepolisian.

Di tingkat nasional, Kapolri berjanji untuk memberantas oknum polisi yang memeras Supriyani, sementara Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah berjanji mengangkat Supriyani sebagai guru non-PNS.

Namun, pertanyaan muncul: mengapa tidak sekalian mengangkatnya menjadi PNS, mengingat dedikasinya di sekolah pelosok? Kebijakan seperti ini menyoroti ketidakpastian dan lambannya respons institusi terhadap kebutuhan mendasar para pengajar yang telah lama berbakti.

Drama hukum ini mengungkapkan kelemahan sistem peradilan kita dalam menangani kasus yang seharusnya sederhana. Alih-alih membebaskan Supriyani secara total, jaksa tetap mencantumkan tuduhan kekerasan, meskipun “tanpa niat jahat.”

Seakan menunjukkan sebuah paradoks di mana tujuan keadilan malah menjadi kabur. Bukankah jaksa seharusnya memverifikasi terlebih dahulu kebenaran di balik klaim “pemukulan” tersebut? Jika tindakan itu tidak berdasar, mengapa tetap dicantumkan dalam dakwaan?

Kasus Supriyani ini adalah potret pahit bagi rakyat kecil yang terperangkap dalam permainan hukum. Guru honorer yang sehari-hari mendidik anak-anak bangsa di pelosok ini justru terseret dalam situasi di mana hukum tampak lebih melayani kepentingan golongan tertentu.

Keputusan yang ambigu dan bernuansa kompromi ini memperlihatkan bahwa aparat penegak hukum tampaknya lebih peduli pada citra institusi daripada mencari kebenaran dan keadilan sejati.

Ironi seperti ini memicu rasa muak di masyarakat. Sudah waktunya bagi para penegak hukum untuk meninggalkan pola dagelan hukum ini dan benar-benar bekerja demi keadilan substantif, bukan hanya simbolik.

Mereka yang berwenang harus menegakkan hukum berdasarkan hati nurani dan rasa keadilan, sehingga peristiwa seperti ini tidak lagi menjadi kenyataan pahit yang terus berulang bagi rakyat kecil di negeri ini. (Ahmadie Thaha)

 

Example 120x600