Ahmadie Thaha -Alumni FU IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat -Ma’had Tadabbur al-Qur’an
ppmindonesia.com, Jakarta– Seandainya nasib Bahlil Lahadalia diangkat dalam skenario stand-up comedy, mungkin tiket pertunjukannya akan laris manis. Baru saja merayakan euforia sebagai Ketua Umum Partai Golkar, tiba-tiba badai kabar buruk datang beruntun, seolah tidak memberi kesempatan untuk bernapas.
Pertama, posisi Bahlil di puncak Golkar terguncang setelah munculnya kabar bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan pengesahan AD/ART Golkar terbaru oleh Kementerian Hukum dan HAM. AD/ART inilah yang mengesahkan Bahlil sebagai Ketua Umum dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar XI, sebuah langkah yang dilakukan lebih awal dari jadwal seharusnya pada Desember 2024. Beberapa pihak menilai Munas tersebut melanggar AD/ART lama, sehingga keputusan PTUN ini seolah-olah “menarik kembali” kursi ketua yang baru saja diduduki Bahlil.
Namun, ini bukan satu-satunya “godam” yang menghantam. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Universitas Indonesia (UI) juga mengumumkan bahwa gelar doktoral yang diraih Bahlil dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) untuk sementara ditangguhkan, sembari menunggu hasil sidang etik terkait dugaan pelanggaran dalam proses pembimbingan akademik. Tak tanggung-tanggung, UI bahkan memutuskan moratorium penerimaan mahasiswa baru di program S3 SKSG hingga investigasi selesai. Dengan kata lain, akibat “kasus gelar” ini, bukan hanya Bahlil yang merasakan dampaknya, tetapi juga calon mahasiswa yang berencana menempuh pendidikan doktoral di sana.
Dua kabar ini jelas disambut beragam reaksi oleh publik, terutama lawan-lawan politik Bahlil, yang mungkin merasa bertepuk tangan dalam diam. Di satu sisi, masyarakat menyaksikan peristiwa ini sebagai pengingat betapa absurdnya kisah politik di negeri ini. Media sosial ramai dengan sindiran bahwa di Indonesia tampaknya lebih mudah menjadi ketua partai atau pejabat ketimbang meraih gelar doktor tanpa cela.
Namun, di balik humor dan kritik tajam, kasus ini menyiratkan persoalan serius mengenai kredibilitas dan tata kelola institusi, baik di bidang politik maupun akademik. Pembatalan oleh PTUN dan keputusan moratorium UI seolah menjadi sinyal bahwa ada yang perlu diperbaiki di masing-masing sektor, agar kejadian serupa tak terulang. Ini bisa menjadi momen “wake-up call” bagi para pemangku kepentingan untuk memperketat aturan main, demi menjaga kepercayaan publik.
Lebih jauh, kasus ini juga memberi peringatan bagi Presiden Prabowo Subianto mengenai pentingnya integritas dan rekam jejak anggota kabinetnya. Sektor pemerintahan pun tak luput dari sorotan. Selain Bahlil, beberapa menteri lain dalam kabinet Prabowo, seperti mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, terseret dalam kontroversi. Nama Budi bahkan dihubungkan dengan rumor keterlibatan dalam praktik judi online. Lainnya juga disebut-sebut memiliki rekam jejak bermasalah, mulai dari dugaan korupsi hingga pelanggaran HAM berat.
Mungkin Prabowo tengah menanti waktu yang tepat untuk bertindak. Sebab, jika tidak, menteri-menteri yang memiliki rekam jejak buruk ini berpotensi menjadi beban bagi pemerintahannya di masa depan. Langkah yang tegas, seperti mencopot menteri-menteri bermasalah, tampaknya bisa membantu memperkuat citra pemerintahan.
Di sisi lain, bagi kita yang menyaksikan episode politik ini, ada hiburan terselip di dalamnya. Namun, kita juga diingatkan bahwa dalam politik maupun akademik, integritas dan proses yang benar adalah nilai-nilai yang tak boleh dikorbankan. Pada akhirnya, episode ini mengajarkan kita bahwa di panggung politik dan akademik, tidak ada yang benar-benar “aman.” (ahmadie thaha)