Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Trotoar dan Ironi Hidup Kita: Langkah Kecil yang Sering Terabaikan

380
×

Trotoar dan Ironi Hidup Kita: Langkah Kecil yang Sering Terabaikan

Share this article
Ilutrasi trotar yang di salahkan kegunaan senbai tempat parkir

Oleh : Cak AT – Ahmadie Thaha – Alumni FU IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat – Ma’had Tadabbur al-Qur’an,

ppmindonesia.com, Jakarta-Bayangkan sebuah pagi yang cerah di salah satu sudut kota Indonesia. Trotoar lebar membentang, dihamparkan dengan paving block yang berkilau terkena sinar matahari. Jalur warna kuning kunyit yang diperuntukkan bagi difabel menyapamu, sementara di sana-sini, bangku taman yang jarang disentuh terdiam berdebu, seolah menunggu untuk digunakan.

Namun, kenyataannya? Trotoar itu penuh dengan motor yang diparkir sembarangan, gerobak pedagang kaki lima yang memenuhi ruang, bahkan ada sepeda motor yang melintas tanpa rasa bersalah. Sejak Anies Baswedan tak lagi menjabat sebagai gubernur, pemandangan ini seakan menjadi wajah baru trotoar di Jakarta. Jika trotoar bisa berbicara, mungkin ia akan bertanya, “Apakah kalian tahu aku dibuat untuk siapa?”

Ironi ini bukan sekadar pemandangan sehari-hari, melainkan sebuah metafora bagi gaya hidup kita. Kita lebih sering memilih jalan pintas daripada jalan sehat. Padahal, manfaat berjalan kaki jauh lebih besar daripada sekadar angka di aplikasi pedometer; ia adalah langkah literal menuju kehidupan yang lebih baik.

Menurut berbagai penelitian, berjalan kaki secara rutin —meskipun hanya 10 menit setiap hari— dapat mengurangi risiko berbagai penyakit, mulai dari diabetes, hipertensi, hingga penyakit jantung. Bahkan, sebuah studi menunjukkan bahwa berjalan kaki setiap hari selama 10 menit bisa memperpanjang usia, hingga 1,4 tahun untuk pria dan 0,9 tahun untuk wanita berusia 60 tahun ke atas.

Para ahli merekomendasikan agar orang yang berusia lebih dari 60 tahun berjalan kaki sekitar 6.000 hingga 8.000 langkah setiap hari, sementara mereka yang lebih muda disarankan untuk mencapai 10.000 langkah. Untuk pejalan dengan kecepatan sedang (sekitar 5 km/jam), 6.000 langkah bisa ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit, 8.000 langkah dalam 1 jam, dan 10.000 langkah dalam 1 jam 15 menit.

Namun, di Indonesia, mencapai target ini seakan menjadi mimpi di siang bolong. Banyak dari kita lebih memilih menunggu ojek online meskipun jaraknya hanya sepelemparan batu. Sebagai perbandingan, masyarakat di negara-negara seperti Jepang dan beberapa negara Eropa terkenal dengan kebiasaan jalan kaki mereka. Anda pasti sudah melihatnya di video-video Youtube yang menampilkan kehidupan mereka sehari-hari.

Di kota-kota seperti Tokyo atau Amsterdam, trotoar bukan hanya ruang pejalan kaki, melainkan ruang hidup. Trotoar digunakan untuk berjalan, bersepeda, bahkan bersosialisasi. Di sisi lain, trotoar di Jakarta lebih sering diperlakukan seperti museum terbuka: indah untuk dilihat, tetapi tidak untuk digunakan. Padahal, banyak pemerintah daerah telah memperindah trotoar kota mereka.

Filosofi trotoar di Indonesia sering kali berbicara tentang “niat baik yang tidak sampai.” Pemerintah membangun trotoar yang lebar dan estetik, tetapi sering kali lupa melibatkan budaya masyarakat yang seharusnya menggunakannya. Pedagang kaki lima mencari nafkah, motor mencari tempat parkir, dan kita? Kita seringkali mencari alasan untuk tetap bermalas-malasan.

Di tengah semua itu, ada ironi yang tak terelakkan: orang-orang yang paling sering berada di trotoar bukanlah pejalan kaki, melainkan mereka yang tidak punya pilihan lain. Anak-anak sekolah yang berjalan kaki ke sekolah, ibu-ibu yang membawa barang belanjaan, atau pekerja kasar yang mengangkut beban yang lebih berat daripada yang seharusnya mereka bawa.

Kita hidup di era di mana duduk telah menjadi “penyakit baru.” Di rumah kita duduk, di kendaraan kita duduk, bahkan di kafe kita duduk sambil makan dan minum. Menurut data kesehatan, terlalu banyak duduk berkontribusi pada masalah kesehatan kronis, mulai dari obesitas hingga gangguan mental.

Di sisi lain, jalan kaki menawarkan solusi sederhana dan murah. Bahkan, menurut Profesor Tom Yates dari University of Leicester, menambah 10 menit jalan kaki setiap hari bisa meningkatkan kualitas hidup secara signifikan, bahkan memperpanjang usia. Dalam sepuluh menit itu, kita setidaknya bisa mengayunkan kaki sebanyak 1.333 langkah.

Namun, mengapa kita masih enggan melakukannya? Mungkin karena budaya kita selama ini tidak pernah benar-benar memprioritaskan kebugaran fisik. Atau mungkin, kita terlalu sibuk dengan ilusi produktivitas dan merasa bahwa duduk berjam-jam di depan laptop adalah hal yang lebih penting. Padahal, terkadang langkah kecil yang kita ambil bisa membawa perubahan besar.

Jika ada satu hal yang trotoar bisa ajarkan kepada kita, itu adalah kesabaran. Seperti prajurit yang setia berdiri di garis depan, trotoar kita tetap tabah meskipun sering disalahgunakan. Trotoar adalah simbol kemajuan yang mengingatkan kita bahwa modernisasi tidak hanya soal membangun, tetapi juga soal memanfaatkan apa yang telah dibangun dengan bijak.

Jadi, apa langkah kita selanjutnya? Mungkin sesederhana berjalan kaki ke warung terdekat, atau memilih naik transportasi umum daripada kendaraan pribadi. Trotoar tidak meminta banyak—hanya sedikit perhatian dan penghargaan. Karena pada akhirnya, trotoar adalah panggung kota yang menunggu untuk dipakai, bukan sekadar hiasan yang terlupakan.

Jika Anda merasa tulisan ini terlalu serius, anggap saja sebagai satire. Karena, mari kita jujur, kapan terakhir kali Anda benar-benar menggunakan trotoar untuk berjalan kaki, dan bukan hanya untuk berfoto Instagram? Mari kita mulai dari langkah kecil: gunakan trotoar seperti yang seharusnya. Jika tidak demi kesehatan, setidaknya demi rasa syukur memiliki ruang publik yang selama ini sering kita abaikan. (Ahmadie Thaha)

Example 120x600