ppmindonesia,com- Jakarta–Al-Qur’an berulang kali mengingatkan manusia untuk merenungkan ayat-ayatnya dengan hati yang terbuka. Ayat seperti “Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad [47]:24) mengingatkan kita akan pentingnya tadabbur, bukan sekadar membaca. Peringatan ini ditegaskan pula dalam QS. An-Nisa [4]:82 yang mengajak umat untuk memperhatikan Al-Qur’an secara mendalam.
Namun, menjalani upaya tersebut tidaklah sederhana. Menggunakan Al-Qur’an sebagai furqan (pembeda antara yang benar dan salah) berbasis akal sehat tentu akan menghadapi tantangan. Terlebih, ketika pembahasan dilakukan dengan kesadaran penuh terhadap ayat-ayat seperti QS. Al-Anfal [8]:22 dan QS. Al-A’raf [7]:179, yang menyebutkan sebagian manusia lebih rendah dari binatang karena tidak menggunakan akal mereka.
Ayat ini, bersama QS. Al-Qamar [54]:17 yang menegaskan kemudahan memahami Al-Qur’an, berpotensi mempertajam diskusi, tetapi juga memunculkan reaksi dari mereka yang merasa terusik.
Membedah Ajaran Islam Berdasarkan Al-Qur’an
Salah satu pokok pembahasan yang krusial adalah QS. Ali ‘Imran [3]:19: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” Pernyataan ini menjadi landasan bahwa ajaran Islam adalah yang berasal dari Allah. Maka, pertanyaan penting muncul:
- Apakah ada ajaran Islam yang bukan dari Allah?
- Jika ada ajaran yang bukan dari Allah, apakah itu dapat disebut Islam?
Jawaban atas pertanyaan ini membawa konsekuensi serius. QS. Ali ‘Imran [3]:19 mengarahkan kita pada pemahaman bahwa ajaran Islam yang sejati hanya ada dalam Al-Qur’an. Maka, muncul pertanyaan lanjutan: apakah ajaran Islam dapat ditemukan di luar Al-Qur’an? Misalnya, bagaimana dengan hadits yang bersumber dari periwayatan sahabat seperti Abu Hurairah atau Anas bin Malik?
Realitas umat menunjukkan adanya banyak ajaran yang secara terbuka diakui bukan dari Allah, tetapi tetap dianggap sebagai bagian dari Islam. Ini menimbulkan dilema logis ketika QS. Ali ‘Imran [3]:19 dijadikan sebagai landasan bahwa Islam adalah agama yang berasal langsung dari Allah.
Ketidaksesuaian Religiusitas Umat dengan Al-Qur’an
Lebih jauh lagi, banyak perbedaan antara pernyataan Al-Qur’an dan praktik religiusitas umat. Beberapa contohnya adalah:
1.Shalat dan Tasbih
QS. An-Nur [24]:41 menyatakan bahwa setiap makhluk telah mengetahui shalat dan tasbihnya. Namun, dalam realitas, umat Islam memiliki banyak kitab panduan shalat. Apakah ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap ayat tersebut?
2. Zakat atau Shodaqah
QS. At-Taubah [9]:60 menetapkan shodaqah sebagai kewajiban dari Allah. Namun, dalam praktiknya, shodaqah sering dianggap sebagai pemberian sukarela yang tidak penting.
3.Asbabun Nuzul
QS. Hud [11]:107 menegaskan bahwa Allah bertindak sesuai kehendak-Nya dan tidak bergantung pada sebab. Namun, umat Islam sering kali menerima konsep asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu), yang seolah membatasi kehendak Allah pada peristiwa tertentu.
4.Pemeliharaan Al-Qur’an
QS. Al-Hijr [15]:9 menegaskan bahwa Allah memelihara Al-Qur’an. Namun, umat mengakui keberadaan hadits Qudsi sebagai wahyu yang tidak tercatat dalam Al-Qur’an, sehingga terkesan ada “wahyu” yang tercecer.
5.Ketaatan pada Shirath Allah
QS. Al-An’am [6]:153 melarang umat mengikuti jalan lain selain shirath Allah karena itu adalah sumber perpecahan. Namun, realitas menunjukkan banyaknya mazhab, aliran, dan pendapat yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Persiapan untuk Membedah Realitas Umat
Membedah perbedaan ini bukanlah tugas mudah. Selain membutuhkan kedalaman ilmu, keberanian, dan ketulusan, pembahasan semacam ini akan menghadapi reaksi keras dari mereka yang merasa terusik keyakinannya. Tantangan ini bukan hanya intelektual, tetapi juga sosial, karena menyentuh akar tradisi dan pemahaman umat yang sudah tertanam selama berabad-abad.
Apakah umat siap menghadapi kenyataan bahwa ada banyak perbedaan antara ajaran Al-Qur’an dan praktik yang dianggap sebagai Islam? Siapkah kita menerima fakta bahwa Al-Qur’an telah menyediakan petunjuk yang jelas, tetapi sering kali diabaikan demi mengikuti tradisi?
Mengembalikan Religiusitas kepada Al-Qur’an
Mendalami Al-Qur’an bukan hanya kewajiban, tetapi kebutuhan untuk mengembalikan keaslian ajaran Islam. Sebagai umat yang berakal, kita dituntut untuk mendasarkan pemahaman dan praktik pada Al-Qur’an sebagai sumber utama. Dengan demikian, perbedaan antara realitas dan ajaran ilahi dapat diminimalkan, menuju kehidupan yang sesuai dengan shirath Allah yang lurus.(husni fahro)